Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 diharapkan menunjukkan kinerja baik selama lima tahun mendatang. Pasalnya, kinerja dewan periode 2014-2019 dianggap sangat buruk.
Ketua Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, buruknya kinerja DPR periode 2014-2019 terlihat dari rendahnya rancangan dan revisi Undang-undang (RUU) yang disahkan selama lima tahun terakhir. Menurut Veri, DPR periode lalu hanya mampu menyelesaikan 22,63% RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Jika ditambah dengan RUU di luar Prolegnas, jumlahnya hanya 29,44%. "Sangat minim kalau bicara capaian penyusunan regulasi di lima tahun belakangan ini," kata Veri dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (8/10).
(Baca: 5 RUU Mulai dari Revisi KUHP hingga Minerba Dibahas DPR Mendatang)
Selain kuantitas, Veri menilai kualitas RUU yang disahkan dewan selama lima tahun terakhir buruk. Pasalnya, banyak RUU yang baru disahkan DPR langsung digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia mencontohkan salah satu revisi aturan yang langsung digugat yakni UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UU yang disahkan pada 17 September 2019 siap digugat oleh mahasiswa hingga advokat. "Ada persoalan konstitusionalitas melihat banyaknya UU yang baru disahkan langsung dibawa ke MK," kata Veri.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Faby Tumiwa mengatakan, buruknya kinerja DPR karena mereka kerap terburu-buru dalam membahas suatu RUU. Selain itu, pembahasan terkesan tertutup dari publik.
Faby mencontohkan, RUU Minerba yang sempat ingin dikebut tiga hari jelang DPR periode 2014-2019 berakhir. Ketika itu, pembahasan dilakukan pada malam hari oleh Komisi 7 DPR. “Untungnya Presiden bilang jangan diteruskan dan (pembahasan RUU Minerba) itu gagal," kata Faby.
Selain itu, Faby menilai buruknya wajah DPR juga terlihat dari banyaknya anggota yang terlibat dalam kasus korupsi. Berdasarkan data KPK hingga September 2019, ada 23 anggota DPR RI periode 2014-2019 yang menjadi tersangka korupsi.
Dari jumlah tersebut, delapan anggota dewan berasal dari Golkar. PDIP, PAN, dan Demokrat masing-masing memiliki tiga kader yang menjadi tersangka korupsi. Sebanyak dua orang anggota DPR dari Hanura menjadi tersangka korupsi. Sementara, PKB, PKS, Nasdem, dan PPP masing-masing menyumbang satu anggota menjadi tersangka korupsi.
"Kalau lihat DPR yang harusnya memiliki fungsi pengawasan malah terlibat praktik yang tidak benar. Dalam hal ini DPR bisa dilihat masyarakat sebagai broker," kata Faby.
(Baca: ICW Sebut 10 Konsekuensi Buruk Jika Jokowi Tak Terbitkan Perppu KPK)
Menurut Faby, salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kinerja DPR periode ini dengan menerapkan sistem penilaian terhadap anggota dengan transparan dan akuntabel. Wakil rakyat juga harus terbuka menyampaikan agenda legislasi mereka kepada publik.
"Jadi menurut saya ini harus dimulai itikad baik. Kami perlu anggota DPR yang mendengar suara rakyat," kata Faby.
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henry Subagyo menambahkan, DPR juga harus membuka ruang partisipasi publik ketika membahas berbagai RUU. Sehingga aspirasi masyarakat dari berbagai elemen dapat tertampung.