DPR dan Pemerintah Siap Sahkan Rancangan KUHP meski Banyak Penentangan

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Sejumlah demonstran melakukan aksi demo menolak RKUHP di depan gedung DPR MPR RI,  Jakarta Pusat (16/9). Namun pemerintah dan DPR sepakat membawa RKUHP ke rapat paripurna untuk disahkan.
19/9/2019, 12.37 WIB

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah menyepakati Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bakal disahkan menjadi undang-undang (UU) dalam Rapat Paripurna. Pengesahan RKUHP rencananya dijadwalkan pada Selasa (24/9) mendatang meski sejumlah pihak mengkritik dan meminta penundaan.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan RKUHP telah digodok empat tahun dan perlu disahkan segera. Dia mengatakan jika tidak diputuskan maka Indonesia akan terus menggunakan produk hukum kolonial. “Kalau ngotot terus, tidak akan selesai,” kata Yasonna usai rapat kerja  RKUHP di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (18/9) malam.

(Baca: RUU KUHP Ancam Kriminalisasi Kritikan Masyarakat)

Dalam pembahasan, hanya Pasal 418 tentang perzinahan yang sepakat untuk dihapus dengan alasan rentan disalahgunakan.Pasal ini berbunyi persetubuhan dengan janji akan dikawini akan dipidanakan. “Kami setuju untuk di-drop dalam forum lobi," kata Ketua Komisi III DPR RI Aziz Syamsuddin.

Meski demikian,masih ada sejumlah pasal yang dianggap menjadi masalah. Beberapa di antaranya adalah Pasal 281 yang berpotensi mengganggu kerja pers, Pasal 218 hingga 220 soal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden, Pasal 304-309 tentang penistaan agama,  Pasal 417 sampai 419 yang mengatur perzinaan, hingga Pasal 604 soal tindak pidana korupsi.

Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menganggap Pasal 281 terkait gangguan proses peradilan multitafsir dan berpotensi mengkriminalisasi pers. Dalam pasal tersebut, orang yang tanpa izin pengadilan merekam dan mempublikasikan langsung sidang pengadilan akan dipidanakan.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Asnil Bambani Amri  juga mengkhawatirkan Pasal 444 yang mengatur pencemaran nama orang yang sudah meninggal berpotensi jadi pasal karet. 

“Ketika kita mengkritisi misalnya Soeharto, kemudian keluarganya tidak terima, akan terkena pencemaran nama baik orang mati,” kata Asnil saat berorasi di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (19/9).

(Baca: Jokowi Digugat ke Pengadilan soal Terjemahan KUHP)

Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Didin Hafidhuddin juga meminta pembahasan RKUHP ditunda. Menurutnya ada pasal yang berpotensi multitafsir seperti Pasal 480 soal perkosaan. “Sebaiknya ditunda jika butuh perbaikan,” kata Didin.

Selain itu RKUHP juga ditolak oleh massa dari Aliansi Masyarakat untuk Keadilan dan Demokrasi. Perwakilan kelompok tersebut, Lini Zurlia, merasa pasal-pasal yang melah berpotensi membuat masyarakat dipenjarakan. Selain itu ia merasa dalam proses pembuatannya, DPR cenderung tertutup. “Silakan jawab DPR,” kata Lini.

Reporter: Antara