Proses Kebut UU KPK dalam 13 Hari hingga Ruang Paripurna yang Kosong

ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Menkumham Yasonna Laoly (kiri) menerima hasil revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas (kedua kiri) disaksikan Menpan RB Syafruddin (ketiga kiri) saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Pemerintah dan DPR menyepakati pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dihadiri oleh 80 orang anggota DPR.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Agustiyanti
17/9/2019, 17.56 WIB

Pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbilang cepat. Pemerintah dan DPR hanya membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut tiga kali sebelum akhirnya dibawa ke sidang paripurna dan disahkan pada hari ini, Selasa (17/9). 

RUU KPK sebelumnya muncul secara tiba-tiba dalam rapat paripurna pada Kamis (5/9). Padahal, RUU tersebut tak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini yang telah disepakati pemerintah dan DPR. 

Sidang Paripurna itu dihadiri sekitar 70 orang anggota DPR. Kala itu, seluruh anggota yang hadir langsung menyetujui revisi UU KPK menjadi RUU inisiatif DPR.

(Baca: Meski Dikritik, DPR Tetap Sahkan Revisi UU KPK)

Pada hari yang sama, KPK menggelar konferensi pers menolak revisi UU tersebut. Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan KPK di ujung tanduk dan menyurati Presiden Jokowi.

Meski demikian, Presiden Joko Widodo (Jokowi)  tetap menandatangani Surat Presiden (Surpres) tentang revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Surat tersebut telah diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu (11/9) pagi.

DPR dan pemerintah pun langsung menggelar rapat pertama pembahasan revisi UU KPK pada Kamis (12/9). Rapat kemudian berlanjut pada Jumat (13/9) malam. 

(Baca: Poin-poin UU KPK yang Disahkan DPR, Usulan Jokowi Masuk Semua)

Pada hari yang sama, Jokowi sempat jumpar pers guna menyatakan sikap terkait revisi RUU tersebit. Ia menyatakan menerima sejumlah poin revisi UU KPK. yakni penyadapan harus seizin dewan pengawas, kewenangan SP3 setelah 2 tahun, hingga pegawai KPK menjadi ASN.

Namun, ia menolak 4 poin revisi UU KPK, yakni penyadapan dengan  izin eksternal, penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja, penuntutan wajib berkoordinasi dengan Kejagung, dan LHKPN dikeluarkan dari KPK.

Pada Senin (16/9), KPK menyurati DPR berharap agar pembahasan revisi UU KPK ditunda dan tak dilakukan secara terburu-buru. Namun, permintaan tersebut tak digubris DPR.

Pada hari yang sama, pemerintah dan DPR justru mengadakan rapat kerja di Badan Legislasi yang menyepakati RUU KPK untuk disahkan di sidang paripurna. Perlu diketahui seluruh rapat pembahasan revisi UU KPK dilakukan secara tertutup.

(Baca: Masyarakat Penolak UU KPK Punya Peluang Ajukan Uji Materi Ke MK)

Rapat paripurna ke-9 tahun 2019 yang digelar DPR pada hari ini, Selasa (17/9) kemudian mengesahkan revisi UU KPK meski berdasarkan hitungan kepala (headcount), hanya ada 102 anggota dewan yang hadir.

Angka itu semestinya tidak mencapai kuorum untuk bisa menggelar rapat paripurna. Ini lantaran rapat paripurna baru bisa dimulai jika jumlah anggota dewan yang ikut sebanyak 50% plus satu. Artinya, harus ada 281 orang yang ikut hadir dalam rapat paripurna.

Meski demikian, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin rapat paripurna menyatakan jumlah anggota dewan yang hadir sudah kuorum. Menurut Fahri, berdasarkan daftar presensi dari Sekretariat Jenderal DPR, jumlah anggota dewan yang hadir sebanyak 289 orang.

"Oleh karena itu kuorum telah tercapai dan dengan mengucap bismillah perkenankanlah kami pimpinan dewan membuka rapat (paripurna) ini," kata Fahri.

Dalam rapat paripurna, ada tujuh fraksi menyatakan sepakat atas pengesahan RUU KPK. Ketujuhnya antara lain PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, Hanura, dan PAN.

(Baca: Gerindra, PKS, dan Demokrat Persoalkan Adanya Dewan Pengawas KPK)

Memang ada catatan yang diberikan oleh tiga fraksi lainnya, yakni Gerindra, PKS, dan Demokrat. Ketiganya mempersoalkan mengenai mekanisme pemilihan anggota dewan pengawas langsung oleh Presiden.

Walau begitu, hal tersebut tidak mempengaruhi kesepakatan DPR atas pengesahan perubahan payung hukum terhadap komisi antirasuah. "Saya ingin menanyakan apakah pembacaan tingkat II pengambilan keputusan ruu kpk dapat disahkan menjadi UU?” Kata Fahri.

“Sepakat,” seru para anggota dewan yang hadir.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas membantah pihaknya terburu-buru mengesahkan RUU KPK. Supratman berdalih pembahasan RUU KPK sudah berlangsung lama semenjak di Baleg.

“Sebenarnya tidak terburu-buru karena kan proses,” kata Supratman.

Menurut Supratman, DPR telah mengikuti semua perdebatan publik yang ada terkait dengan wacana perubahan payung hukum KPK tersebut. Meski demikian, dia menilai ada perbedaan pandangan terkait RUU KPK.

DPR bersama pemerintah sendiri menilai ada urgensi untuk merevisi UU KPK sekarang. “Soal dinamika yang berkembang di masyarakat, semua diperhatikan, bukan DPR bersama pemerintah tutup mata,” kata Supratman.

Reporter: Dimas Jarot Bayu