Sikap Jokowi dalam Revisi UU KPK, Bumerang Bagi Kepercayaan Publik

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
KPK menyerahkan mandat pengelolaan lembaga antirasuah ini ke Presiden Jokowi sebagai respons atas polemik revisi UU KPK.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
15/9/2019, 10.50 WIB

Kain hitam pembungkus logo Komisi Pemberantasan Korupsi, simbol penolakan revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, dilepas paksa oleh pengunjuk rasa, Jumat (13/9) siang.  Pengunjuk rasa yang menyatakan pendukung revisi UU tersebut juga melakukan berbagai tindak kekerasan, seperti seperti membakar karangan bunga, melepar batu ke gedung KPK dan merusak kamera beberapa jurnalis.

Beberapa jam setelah penyerangan di kantor KPK, beberapa pimpinan komisioner mengadakan konferensi pers dadakan. Ketua KPK Agus Rahardjo didampingi Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dan Saut Situmorang, serta Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyikapi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sehari sebelumnya menyampaikan Surat Presiden atas pembahasan revisi UU KPK.

Padahal, selama ini KPK tak pernah dilibatkan dalam kajian UU tersebut. Bahkan pimpinan KPK tak mendapat salinan draft aturannya. "Kami sangat prihatin, pemberantasan korupsi sangat mencemaskan," kata Agus.  

Agus menyatakan KPK saat ini diserang beragam sisi, salah satunya pembahasan RUU KPK. Sehingga, mereka mengambil sikap menyerahkan mandat pemberantasan korupsi kepada Jokowi.  "Kami semua menunggu tindakan apa yang dilakukan presiden untuk pemberantasan korupsi," kata juru bicara KPK Febri Diansyah.

(Baca: Pimpinan KPK Cemas, Serahkan Mandat Pemberantasan Korupsi ke Jokowi)

Sejak DPR memulai pembahasan revisi UU KPK secara diam-diam pada Kamis (5/9), berbagai elemen masyarakat, ramai-ramai menolak revisi aturan tersebut. Awalnya, publik menaruh harapannya Presiden Jokowi yang memiliki hak untuk menolak revisi beleid tersebut. Suatu UU tak bisa dibentuk hanya berdasarkan persetujuan DPR, melainkan juga oleh Presiden.

Apalagi, dalam beberapa kali kesempatan Jokowi menebar janji akan memperkuat KPK. Dalam  Nawa Cita, Jokowi menyatakan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

Pada saat berkampanye di Pemilihan Presiden, Jokowi dengan terang menyatakan akan memperkuat KPK. “Ke depan, KPK perlu diperkuat, anggaran perlu ditambah, perkiraan saya kurang-lebih 10 kali.”

Namun, harapan kepada Jokowi menjadi pupus setelah pada Rabu (11/9) pagi, Surat Presiden yang menyetujui RUU KPK ke DPR dikirim ke DPR. Pengiriman surat ini diketahui lewat pernyataan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno pada Rabu (11/9) petang.

(Baca: Jokowi Tolak Tiga Poin dalam Draf Revisi UU KPK)

Sementara, pada hari yang sama kepada wartawan, Jokowi hanya menyatakan telah menerima daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KPK dan akan mengkajinya. Dia menyatakan akan mengundang sejumlah pakar dan kementerian.

Jokowi melalui Surpres itu menyepakati empat poin terkait RUU KPK. Keempatnya, yakni terkait pembentukan Dewan Pengawas, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), status Aparatur Sipil Negara bagi para pegawai KPK, dan perlunya izin Dewan Pengawas ketika penyadapan.

Empat  poin ini yang kerap disebut aktivis antikorupsi sebagai poin krusial untuk melemahkan KPK.
Pengamat sekaligus pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai KPK tidak perlu memiliki dewan pengawas, karena lembaga tersebut sudah memiliki mekanisme pengawasan sendiri.

Bivitri mengatakan KPK telah memiliki mekanisme pengawasan yang cukup ketat, mulai dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), DPR, Kementerian Komunikasi dan Informasi hingga mekanisme pra peradilan.

Menurut dia, pengawasan yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut sudah cukup untuk memantau kinerja KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi. "Jadi mekanisme sudah lengkap dan tidak harus selalu lembaga," kata Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pasal-pasal yang didukung pemerintah dalam revisi UU KPK tersebut justru akan melemahkan atau melucuti kewenangan lembaga anti korupsi itu. Pembentukan Dewan Pengawas yang akan dipilih presiden akan membuat lembaga tersebut tidak independen dan berpotensi adanya intervensi dari eksekutif dan legislatif pada penindakan KPK. Selain itu, kewenangan KPK dalam memberikan SP3 bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

(Baca: TII Sebut Lima Pimpinan Baru Paket Lengkap Pelemahan KPK)

Unjuk rasa yang disertai tindakan kekerasan dan penyerangan ke Gedung KPK, Jumat (13/9).  (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Bumerang Bagi Kepercayaan Publik

Melihat sikap Jokowi, Pengamat Politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai eks Gubernur DKI Jakarta tersebut telah berlaku inkonsisten. Sebab di satu sisi, Jokowi menyampaikan ingin memperkuat KPK dan tak ingin independensinya terganggu. Namun di sisi lain, Jokowi justru menyetujui RUU KPK yang dianggap bakal melemahkan kerja komisi antirasuah.

Menurut Arya, inkonsistensi sikap Jokowi lantaran dirinya tak bisa mengatasi manuver politik dari berbagai partai di DPR yang menjadi motor pengusul RUU KPK. Sebab, partai-partai yang mengusulkan RUU KPK merupakan pendukung Jokowi ketika Pilpres 2019.

Untuk diketahui, RUU KPK diusulkan oleh enam orang yang berasal dari lima fraksi di DPR. Mereka, yakni Masinton Pasaribu dan Risa Mariska dari Fraksi PDI-P, Saiful Bahri Ruray dari Fraksi Partai Golkar, Ibnu Multazam dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Achmad Baidowi dari Fraksi PPP, dan Taufiqulhadi dari Fraksi Partai Nasdem.

"Ini menunjukkan kelemahan bagaimana menolak koalisi sehingga manuver ini tiak bisa diantisipasi dengan baik oleh Jokowi," kata Arya ketika dihubungi Katadata, akhir pekan.

(Baca: Rapat Tertutup, DPR Enggan Sampaikan Kemajuan Pembahasan RUU KPK)

Arya menilai inkonsistensi sikap Jokowi dapat mempengaruhi citra positif Jokowi, yang lebih lanjut menurunkan kepercayaan publik kepadanya. 

Berdasarkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Agustus 2019 menunjukkan, tingkat kepercayaan publik terhadap KPK lebih besar dari pada kepada presiden.

KPK menjadi lembaga yang paling dipercaya publik, dengan tingkat kepercayaan 84%. Presiden menempati urutan kedua sebagai lembaga yang paling dipercaya oleh publik, dengan tingkat kepercayaan hingga 79%.

Peneliti Senior LSI Burhanuddin Muhtadi saat rilis survei tersebut menyebutkan masyarakat yang percaya KPK merupakan pemilih Jokowi saat Pemilu 2019. Alasannya, masyarakat puas terhadap penanganan korupsi di era pemerintahan Jokowi.


Hal senada disampaikan oleh peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, yang menilai barisan pendukung Jokowi akan semakin berkurang drastis usai menyetujui pembahasan RUU KPK.

Sebab Jokowi akan dianggap ingkar janji terhadap komitmen penguatan KPK dan keberpihakan pada isu antikorupsi. "Dengan Presiden menyepakati RUU KPK usulan dari DPR ini rasanya Nawa Cita Presiden sama sekali tidak terlihat," kata Kurnia.

(Baca: Firli Bahuri Pimpin KPK, ICW Sebut Harapan Bebas Korupsi Makin Jauh)

Lebih lanjut, Kurnia menganggap Jokowi dalam menyepakati RUU KPK mengabaikan aspirasi masyarakat. Kejadian ini, lanjutnya, seperti mengulang langkah keliru Jokowi saat proses pemilihan calon pimpinan KPK yang lalu.

Ketika itu, Jokowi menyepakati sepuluh nama capim KPK yang telah diserahkan oleh Panitia Seleksi (Pansel). Padahal, sepuluh nama capim KPK tersebut dianggap bermasalah.

"Dengan kejadian seperti ini rasanya wajar jika akhirnya publik meragukan komitmen anti korupsi dari Presiden dan pemerintah," kata Kurnia.

ICW berharap presiden dan DPR harus membuka mata, telinga, dan menggunakan hati nurani agar dapat mendengarkan aspirasi masyarakat.