Transparency International Mendesak Jokowi Tolak Revisi UU KPK

ANTARA FOTO/MOCH ASIM
Mahasiswa membubuhkan tanda tangan dan cap telapak tangan pada spanduk hitam saat menggelar aksi #SaveKPK di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Jawa Timur, Selasa (10/9/2019). Aksi yang diikuti mahasiswa, dosen dan masyarakat Surabaya tersebut menolak revisi UU KPK karena dianggap akan melemahkan KPK dalam pemberantasan korupsi.
11/9/2019, 09.46 WIB

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbasis di Jerman, Transparency International, mendesak Presiden Joko Widodo untuk menolak revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Formula revisi yang diajukan dinilai bisa membahayakan independensi KPK dan melemahkan perlawanan terhadap korupsi.

“Transparancy International mendesak Presiden Indonesia, Joko Widodo, untuk menolak diskusi revisi UU KPK dengan tidak mengirimkan surat presiden. Lebih lanjut, DPR harus membatalkan kesepakatan revisi yang telah disetujui,” demikian tertulis dalam siaran pers Transparency International, Selasa (10/11).

(Baca: Ribuan Akademisi dari 27 Universitas Tolak RUU KPK)

DPR sepakat menjadikan revisi UU KPK sebagai usulan parlemen, dalam rapat paripurna, Kamis, 5 September 2019 lalu. Dalam draf revisi yang diajukan, terdapat beberapa poin substansial dari mulai status KPK sebagai cabang eksekutif, pembentukan dewan pengawas, perizinan untuk penyadapan, serta mekanisme penghentian perkara.

Transparancy International menyatakan formula revisi yang diajukan DPR tersebut mengurangi secara signifikan kewenangan KPK dan mendemonstrasikan upaya berkelanjutan parlemen dalam melemahkan institusi tersebut.

(Baca: KPK Pertanyakan Izin Penyadapan Tak Berlaku pada Kepolisian dan Jaksa)

LSM tersebut menilai KPK telah menjadi organisasi antikorupsi yang efektif, dan pemimpin di kawasan. Tapi kepercayaan terhadap upaya pemberantasan korupsi hanya dapat dijaga dengan KPK yang kuat dan independen, sejalan dengan United Nations Anti-Corruption Convention (UNCAC) dan Jakarta Principles on Anti-Corruption.

Artikel 6 UNCAC menyatakan agensi antikorupsi harus mampu berfungsi secara independen dan bebas konflik kepentingan, dengan didukung material serta staf dan tenaga pelatihan yang cukup. Sejalan, Jakarta Principles mendorong negara untuk melindungi independensi dari institusi antikorupsi. Seleksi komisioner baru KPK harus mengikuti proses yang benar dan melibatkan masyarakat.

(Baca: UU KPK Direvisi, Pimpinan dan Pegawai KPK Lakukan Aksi Tutup Logo KPK)

Pimpinan Transparency International Delia Ferreira Rubio mengatakan Indonesia berada di tiga terbawah dalam indeks persepsi korupsi yang dibuat Transparency International dalam beberapa tahun. “Pemerintah harus membuat upaya yang lebih besar untuk mengatasi korupsi, dan tidak melakukan apapun yang bisa melemahkannya,” kata dia seperti dikutip dari siaran pers.

Hal senada disampaikan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko. “Presiden tidak boleh mengabaikan inisiatif revisi UU KPK dan harus bertindak sebagai pelindung tertinggi dari independensi KPK. Pengurangan kewenangan KPK bersifat kontra produktif terhadap perbaikan level korupsi di Indonesia,” kata dia.