Pengamat Politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Joko Widodo berpotensi turun drastis bila menyetujui revisi Undang Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dia mengatakan, saat ini, berbagai kalangan masyarakat menggantungkan harapannya kepada Jokowi agar tidak menindaklanjuti inisiatif DPR tersebut. Sebab, draf revisi UU KPK yang disiapkan DPR berpotensi melemahkan kerja komisi antirasuah.
"Dari riset-riset yang dilakukan memang ada hubungan antara tingkat kepercayaan orang terhadap penguatan KPK dengan kepercayaan terhadap Presiden Jokowi," kata dia kepada katadata.co.id, Jakarta, Jumat (6/9).
(Baca: Revisi UU KPK Tak Sesuai Konvensi PBB, Wakil Ketua KPK: Lawan!)
Ia mengatakan, dalam kampanye Pilpres, Jokowi selalu menyampaikan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. "Dia dianggap sebagai pemimpin baru yang berbeda dari kebanyakan elit," ujarnya. Maka itu, respons Jokowi sangat ditunggu-tunggu masyarakat.
Dalam pandangan Arya, ada beberapa poin dalam draf revisi UU KPK yang berpotensi melemahkan kerja komisi antirasuah. Poin yang dimaksud seperti penyidik yang harus berasal dari institusi lain seperti kejaksaan dan kepolisian. Lalu, pemberhentian perkara bila dalam waktu setahun KPK tidak dapat menemukan bukti-bukti kuat.
Pendapat berbeda disampaikan Sekertaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Ia menilai revisi UU KPK adalah untuk perbaikan sistem pemberantasan korupsi. "Di masa lalu semua juga melihat ada berbagai kelemahan dalam wujud penyalahgunaan kekuasaan," kata dia dalam keterangan resminya.
(Baca: Gerakan Senyap Pelumpuhan KPK di Ujung Masa Kerja DPR)
Sedangkan Wakil Ketua DPR yang juga politisi Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan, dirinya tidak setuju jika dikatakan bahwa revisi UU KPK untuk melemahkan lembaga antirasuah tersebut. "Enggak boleh ada pelemahan KPK, kami ingin tetap (KPK) eksis dan kuat, kalau ada sebuah koreksi, ini bukan sesuatu yang diharamkan," ujarnya.