Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti mendapat ujian bertubi-tubi beberapa waktu belakangan. Belum beres persoalan sepuluh calon pimpinan KPK yang dianggap bermasalah, komisi antirasuah kini harus menghadapi ancaman pelemahan lembaga lewat revisi Undang-undang (RUU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang tengah dirumuskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Revisi payung hukum KPK ini mendadak muncul kembali di akhir masa periode DPR 2014-2019 setelah 'mati suri' dua tahun lalu. Pembahasan revisi aturan sempat tertunda pada 2017 lantaran mendapatkan banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat.
Tiba-tiba dalam rapat pleno tertutup Badan Legislasi (Baleg) DPR yang digelar pada Selasa (3/9) malam, semua fraksi menyetujui untuk merevisi UU KPK. Usulan Baleg itu kemudian dibawa ke rapat paripurna pada Kamis (5/9) untuk disepakati sebagai RUU inisiatif DPR.
(Baca: Seluruh Fraksi Sepakat RUU KPK jadi Usul Inisiatif DPR)
Setali tiga uang, proses persetujuan RUU KPK dalam rapat paripurna terhitung cepat, hanya lima menit. Seluruh anggota dewan yang hadir langsung bersepakat tanpa adanya penolakan berarti dari tiap-tiap fraksi di parlemen.
“Pendapat fraksi-fraksi tentang usul Badan Legislasi (Baleg) DPR tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK dapat disetujui menjadi usul DPR?” tanya Wakil Ketua DPR Utut Adianto yang disambut kata setuju seluruh fraksi.
Berdasarkan RUU KPK yang disetujui dalam rapat paripurna, ancaman terhadap KPK hadir melalui sepuluh poin revisi. Indonesia Corruption Watch (ICW) merinci sepuluh poin tersebut adalah adanya pembentukan Dewan Pengawas (Pasal 37A-37G), kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) (Pasal 40), serta diharuskannya KPK berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam tugas penuntutan (Pasal 12A).
(Baca: Tolak Revisi UU KPK, Komisioner Akan Surati Jokowi)
Kemudian, KPK butuh izin penyadapan dari Dewan Pengawas (Pasal 12B), status KPK yang berada pada cabang kekuasaan eksekutif pemerintahan (Pasal 3), dan pembatasan waktu KPK untuk menangani perkara selama satu tahun (Pasal 40 ayat 1). Lalu, penanganan perkara yang sedang berjalan di KPK dapat dihentikan (Pasal 70 huruf c), dihapuskannya kewenangan KPK mengangkat penyelidik dan penyidik independen (Pasal 43 dan 45), tak bisa membuka kantor perwakilan (Pasal 19), dan adanya syarat pimpinan KPK harus berumur 50 tahun (Pasal 29).
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, jika sepuluh poin revisi itu disahkan, upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK akan terganggu. "Eksistensi KPK juga akan semakin dilemahkan," kata Kurnia melalui keterangan tertulisnya yang diterima Katadata.co.id, Kamis (6/9).
(Baca: DPR Menolak Didikte dalam Proses Revisi UU KPK)
Kekhawatiran ini pun diutarakan oleh pimpinan KPK. Ketua KPK Agus Rahardjo menilai ada sembilan persoalan di RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja komisi antirasuah. Salah satunya karena RUU KPK dapat mengancam independensi lembaga antikorupsi ini, lantaran membuat KPK berada pada cabang kekuasaan eksekutif pemerintahan.
Agus juga menilai revisi aturan nantinya dapat mempersulit dan membatasi proses penyadapan yang dilakukan KPK. Pembatasan juga berpotensi terjadi pada kebutuhan sumber daya manusia penyelidik dan penyidik. Selain itu, Agus menilai RUU KPK akan menghilangkan kewenangan strategis KPK pada proses penuntutan.
Bukan hanya itu, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN pun bakal terpangkas. Persoalan lainnya karena adanya pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, dan perkara yang tak menjadi perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria.
"Kami harus menyampaikan kepada publik bahwa saat ini KPK berada di ujung tanduk," kata Agus. (Baca: Anggota DPR Sebut Revisi UU KPK Mengacu kepada Pidato Jokowi)
Meski ada penolakan terhadap RUU KPK dari berbagai pihak, DPR tak bergeming. Mereka tetap berkukuh membahas perubahan UU ini. Anggota Baleg DPR dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo mengatakan dewan tak bisa didikte siapa pun dalam proses revisi. "Apalagi (oleh) kelompok yang mengatasnamakan rakyat," lanjut Firman.
DPR pun menargetkan pembahasan RUU KPK selesai sebelum Oktober 2019. Anggota Baleg dari Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno meyakini pembahasan RUU KPK dapat rampung dalam tiga pekan. Menurut dia, pembahasan revisi ini tidak akan dilimpahkan atau kepada anggota DPR periode 2019-2024. "Ada tekad untuk menyelesaikan (RUU KPK pada) masa sidang ini," ujar Hendrawan.
Koordinator Divisi Politik ICW Donal Fariz menilai cepatnya target RUU KPK menegaskan bahwa DPR secara konsisten berupaya mempereteli kewenangan KPK. Menurut Donal, hal tersebut dilakukan agar KPK menjadi lemah dan bisa dikendalikan secara politik. "Upaya ini bisa dilihat sebagai langkah jahat yang terkonsolidasi untuk memperlemah KPK secara institusi," kata Donal.
(Baca: DPR Targetkan Revisi UU KPK Rampung Bulan Ini)
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menangkap adanya kepentingan senyap partai politik merevisi UU ini tanpa berkonsultasi dengan publik. Dia juga mengkhawatirkan diajukannya revisi ini hanya sebagai alat transaksi parpol menjelang pergantian anggota DPR.
Ia pun menyayangkan langkah dewan ini mengingat KPK merupakan salah satu instrumen penegakkan hukum yang penting hingga masa depan. “Ini membuat masa depan demokrasi kita suram,” kata Lucius.
Kini harapan publik agar RUU KPK kembali ditunda atau dibatalkan bergantung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ini lantaran Jokowi memiliki hak untuk menolak revisi aturan tersebut. Apalagi, suatu UU tak bisa dibentuk hanya berdasarkan persetujuan DPR, melainkan juga Presiden. Agus bahkan akan mengirim surat langsung kepada Jokowi agar tak menyetujui RUU KPK.
Namun Jokowi malah belum mau berkomentar banyak terkait wacana revisi UU KPK. Alasan mantan Walikota Solo itu karena belum mengetahui isi RUU KPK tersebut. "Menurut saya KPK saat ini telah bekerja dengan baik," kata Jokowi di Pontianak hari Kamis (6/9).