Polisi resmi menahan dua tersangka dugaan informasi hoaks, provokasi, serta ujaran rasialisme yakni Tri Susanti serta Samsul Arifin di Mapolda Jatim. Penahanan dilakukan aparat terhadap keduanya selama 20 hari ke depan.
Tri adalah koordinator lapangan aksi pengepungan mahasiswa Papua di Jl. Kalasan, Surabaya beberapa waktu lalu. Sedangkan Samsul merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebuah kecamatan di ibu kota Jawa Timur itu. Polisi menahan mereka untuk mencegah tindakan yang sama terulang dan menghilangkan barang bukti.
“Berkaitan dengan menghambat proses penyidikan kata Wakapolda Jatim Brigadir Jenderal Polisi Toni Harmanto di Surabaya, Selasa (3/9).
(Baca: YLBHI Desak Polisi Tetapkan Tersangka Rasialisme Mahasiswa Papua)
Polisi juga masih memeriksa saksi-saksi lain yang berhubungan dengan dua tersangka. Namun ia belum berkomentar siapa saja yang akan diperiksa lagi. “Nanti bisa dipertegas penyidik,” kata Toni.
Keduanya dijerat pasal berlapis mulai dari Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Lalu, Pasal 4 UU 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Rasis dan Etnis dan/atau Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 14 ayat 1 dan/atau ayat 2 dan/atau Pasal 15 KUHP. Paling tidak, ancaman penjara yang menanti adalah lima hingga enam tahun penjara.
Kejadian ini disebut-sebut menjadi pangkal rusuh di Papua dan Papua Barat dua minggu belakangan. Saat itu, sejumlah ormas mengepung asrama mahasiswa Papua di Jl. Kalasan karena adanya informasi rusaknya bendera Merah Putih di asrama tersebut.
(Baca: Kronologi Rusuh di Manokwari Versi Polisi, Diawali Insiden di Surabaya)
Gambar rusaknya bendera lalu beredar ke masyarakat lewat Whatsapp yang kemudian memicu pengepungan disertai umpatan rasialisme di asrama pada 16 Agustus. Namun mahasiswa juga membantah adanya bendera yang dirusak serta dibuang ke selokan.
Selain dua masyarakat sipil, lima orang dua personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah diskorsing untuk penyelidikan. Bahkan Komandan Rayon Militer Tambaksari Mayor Inf Irianto dan seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) sudah masuk tahap penyidikan dengan dugaan indisipliner.