YLBHI Desak Polisi Tetapkan Tersangka Rasialisme Mahasiswa Papua
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak pemerintah dan pihak kepolisian segera mengusut tuntas kasus rasialisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, Jawa Timur.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan pihaknya heran karena sampai saat ini polisi masih belum juga menetapkan tersangka dan menahan para pelaku terduga rasialisme. Padahal, persoalan rasialisme ini telah jelas diatur melalui Pasal 4 huruf b Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnis.
(Baca: Kontras Kritik Kominfo yang Batasi Akses Internet Papua)
Ancaman pidana terkait persoalan ini juga telah diatur melalui Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008. Dalam beleid tersebut dijelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis dapat dipidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta.
"Kenapa sekarang pelakunya tidak ditangkap dan ditahan? padahal jelas. Tidak ada istilah pemaafan dalam konteks pidana. Polisi harus menangkap," kata Isnur di Sekretariat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta, Rabu (28/8).
Isnur menilai, kasus rasialisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang tidak bisa dibiarkan begitu saja karena telah menyebabkan berbagai masalah serius.
Dia juga menyatakan, berbagai kerusuhan yang terjadi di Papua saat ini terjadi karena pemerintah seolah tidak menganggap rasialisme sebagai masalah serius. Padahal, masalah tersebut bisa cepat selesai jika pelaku rasialisme segera ditangkap.
"Masalah ini berlarut-larut karena dibiarkan. Pelakunya tidak ditangkap, tidak dicari. Tuntutan mereka dihukum para pelakunya, tapi sampai sekarang tidak diperlihatkan," kata Isnur.
(Baca: Jokowi Segera Diajak ke Papua untuk Diskusi dengan Masyarakat)
Lebih lanjut, dia juga meminta agar para pelaku rasialisme dari pihak militer dapat diproses hukum melalui persidangan umum. Saat ini sudah ada lima anggota Kodam V Brawijaya yang diskors karena diduga melakukan rasialisme, yaitu Komandan Koramil Tambaksari Mayor Inf N H Irianto bersama empat personel Koramil lainnya.
Namun, Isnur khawatir hukuman yang diberikan kepada pelaku rasialisme melalui peradilan militer tidak adil. Ini berkaca pada kasus pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay pada 2001 silam.
Ketika itu, Mayjen TNI Hartomo ikut terlibat dalam pembunuhan Theys. Saat pembunuhan terjadi, Hartomo adalah komandan satuan tugas Tribuana yang diperbantukan ke Kodam di Papua.
Melalui Mahkamah Militer di Surabaya, Hartomo mendapat vonis 3,5 tahun penjara disertai sanksi pemecatan pada 2003. Namun demikian, karier politik Hartomo di militer tetap berlanjut. Dia tercatat pernah menjadi Gubernur Akmil pada Juli 2015, Kepala Badan Intelijen Strategis pada akhir 2016, dan Komandan Pusat Teritorial Angkatan Darat pada Oktober 2017.
"Penting (pihak) militer yang bersikap rasialisme disidang di peradilan umum, agar bisa dilihat. Dengan tegas masyarakat bisa menilai. Kami dorong militer, aparat yang melakukan tindakan rasialis disidang di peradilan umum," kata Isnur.