Pelaksana Tugas Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Djoko Rahardjo Abumanan mengatakan perlu ada perubahan regulasi untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), nuklir menjadi opsi paling terakhir untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi. PLTN juga tidak masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028.
Selain itu, ia menyebut belum ada regulasi tentang penentuan tarif listriknya. "Harus ada revisi dulu, karena belum ada aturannya. Kami tidak akan bisa beli," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (19/7).
(Baca: Pasokan Listrik Defisit, Kalimantan Barat Butuh Pembangkit Nuklir)
Saat ini, Thorcon dan PT PAL sedang menunggu lampu hijau dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agar pembangunan PLTN sebesar 500 Megawatt (MW) bisa dilaksanakan. Thorcon juga bekerja sama dengan Balai Pengembangan dan Penelitian (Balitbang) Kementerian ESDM dalam melakukan kajian PLTN tersebut.
"Jika kajiannya selesai, ini bisa jadi rekomendasi untuk pemerintah memberikan izin. Sehingga di 2027 PLTN sudah bisa beroperasi," ujar Chief Representative Thorcon Indonesia Bob S. Effendi, di Jakarta, Rabu (17/7).
(Baca: PT PAL Kembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Laut )
Bila pembangkit tersebut berhasil dibangun, maka Indonesia akan memiliki PLTN pertama. Bob menjelaskan belum teralisasinya pembangkit tenaga nuklir karena kebijakan pemerintah yang maju mundur untuk membangun pembangkit ini.
Hal itu disebabkan narasi tentang pembangkit listrik tenaga nuklir yang dinilai berbahaya, dan tarif listrik yang mahal. Hal tersebut diluruskan oleh Bob, misalnya saja PLTN yang direncakan dibangun menggunakan teknologi Thorium Molten Salt. Bahan baku yang digunakan berasal dari thorium yang dicairkan, sehingga tidak menimbulkan tekanan dalam tabung. Teknologi ini lebih aman apabila terjadi bencana alam.
(Baca: Thorcon Tunggu Restu Kementerian ESDM Bangun Pembangkit Listrik Nuklir)
Sedangkan, Indonesia memiliki thorium yang berlimpah di Pulau Bangka, dan Kalimantan. Bob menjelaskan thorium selama ini tidak dimanfaatkan dan hanya menjadi limbah. Jadi bisa dipastikan biaya operasional pembangkit, dan tarif listrik yang dihasilkan akan lebih murah.