SKK Migas Bantah Tagihan Piutang Rp 1,9 Triliun Lapindo ke Pemerintah

ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Ilustrasi, lumpur Lapindo. Kontrak bagi hasil (PSC) WK Brantas dengan skema cost recovery berlaku selama 30 tahun mulai dari 1990 sampai 2020. Pemerintah telah memperpanjang kontrak WK Brantas dengan skema gross split selama 20 tahun ke depan.
26/6/2019, 14.36 WIB

Lapindo Brantas, Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya mengklaim memiliki piutang ke pemerintah sebesar US$ 138,23 juta atau setara Rp 1,9 triliun yang berupa pengembalian biaya operasi migas alias cost recoverable di Wilayah Kerja (WK) Brantas. Namun Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menegaskan cost recoverable tidak bisa dihitung sebagai piutang.

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher bilang, pemerintah tidak mengeluarkan dana untuk pengembalian biaya operasi. Pembayaran pengembalian biaya menggunakan hasil produksi sesuai bagi hasil dalam jangka waktu kontrak yang berlaku.

Wisnu juga mengatakan, besaran pengembalian biaya operasi harus diaudit terlebih dahulu oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelum dibayarkan kepada kontraktor. "Ini bukan piutang Lapindo ke pemerintah, namun unrecovered cost atas biaya investasi yang belum dikembalikan sesuai mekanisme production sharing contract (PSC) Wilayah Kerja Brantas," kata Wisnu kepada Katadata.co.id, Senin (25/6).

Kontrak bagi hasil (PSC) WK Brantas dengan skema cost recovery berlaku selama 30 tahun mulai dari 1990 sampai 2020. Pemerintah telah memperpanjang kontrak WK Brantas dengan skema gross split selama 20 tahun ke depan.

Hal itu berarti mulai 2020, seluruh biaya produksi di WK Brantas akan ditanggung oleh kontraktor. "Unrecovered cost tersebut untuk eksisting kontrak WK Brantas saat ini, yaitu periode 1990-2020. Untuk periode selanjutnya sudah PSC Gross Split. Tidak ada lagi cost recovery, dan biaya sudah masuk dalam bagi hasil kontraktor,"kata Wisnu.

(Baca: SKK Migas Usul Cost Recovery Tahun 2020 Lebih Kecil, US$ 10-11 Miliar)

Lapindo Brantas dan Minarak Lapindo Jaya baru saja merilis pernyataan terkait pembayaran utang pemerintah sebesar Rp 773,38 miliar. Salah satu cara Lapindo dan Minarak membayar dengan dana pengembalian biaya operasi migas WK Brantas.

Keduanya mengklaim memiliki piutang berupa pengembalian biaya operasi sebesar US$ 138,23 juta setara Rp 1,9 triliun. Besaran biaya tersebut telah diverifikasi oleh SKK Migas sebagai biaya yang dapat diganti pada September 2018 sesuai dengan surat SKK Migas No SRT-0761/SKKMA0000/2018/S4 tanggal 10 September 2018.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017, biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan Pajak Penghasilan harus memenuhi persyaratan:

a. dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terkait langsung dengan kegiatan operasi perminyakan di wilayah kerja kontraktor yang bersangkutan di Indonesia;

b. menggunakan harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa;

c. pelaksanaan operasi perminyakan sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik;

d. kegiatan operasi perminyakan sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah mendapatkan persetujuan Kepala SKK Migas.

(Baca: Kontrak Diperpanjang 20 Tahun, Lapindo Janji Tak Ada Semburan Lumpur)