Jejak Suram Mobil Nasional, Bagaimana Nasib Esemka?

ANTARA FOTO/ALOYSIUS JAROT NUGROHO
Sejumlah mobil Esemka terparkir di halaman pabriknya di Boyolali, Jawa Tengah
Penulis: Dwi Hadya Jayani
20/6/2019, 16.03 WIB

Vietnam telah mendistribusikan mobil nasional (mobnas) awal pekan ini. Mobil nasional yang diproduksi VinFast ini siap bersaing dengan merek populer di kancah pasar otomotif Vietnam, seperti Toyota dan Ford. Kelahiran mobnas di Vietnam ini memicu pertanyaan, bagaimana nasib mobil tanah air, khususnya Esemka yang menjadi karya anak bangsa?

Sebenarnya, Indonesia telah memiliki anak bangsa yang mampu merealisasikan mimpi memproduksi mobil nasional. Namun sejak Orde Baru berjalan hingga saat ini, mobil nasional yang dikembangkan belum pernah meluncur ke pasaran. Banyak kendala yang menghambat lahirnya mobil nasional yang murni diproduksi oleh anak bangsa di dalam negeri.

Menteri PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengakui mobnas sulit bersaing. Di lingkup domestik sendiri pun mobnas tidak terlalu diminati. Hal ini mengakibatkan pangsa pasar otomotif nasional didominasi merek-merek global yang sudah ternama. Meskipun kesulitan dalam perebutan pasar, Bambang mensyukuri Indonesia mampu membuat mobil sendiri, meski belum dalam skala industri.

(Baca: Bappenas Sebut Mobil Nasional Masih Sulit Bersaing dengan Merek Dunia)

Maleo dan Beta 97 MPV: Gagal Mengaspal Karena Krisis Moneter 1998

Mimpi Indonesia meluncurkan mobnas sejatinya telah direalisasikan sejak Orde Baru. Pada 1993, BJ Habibie pernah mengembangkan mobil karya anak bangsa, yang dikenal dengan nama Maleo. Nama ini diambil dari nama burung Macrocephalon Maleo dari Sulawesi. Pada waktu itu Habibie masih menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek). Pengembangan Maleo dilakukan dengan menggandeng produsen mobil legendaris asal Inggris, Rover. Adapun rancangan Maleo dilakukan oleh PT Bahana Prakarya Industri Strategis (BIPS).

Awalnya, Maleo direncanakan bisa mengaspal pada 1994 dan mulai diproduksi masal pada 1997. Tahapan pembuatannya pertama kali akan dikirim oleh Rover dari pabriknya dengan platform mobil sedan Rover. Selanjutnya, perancangan dibangun dengan komponen dalam negeri yang dikembangkan oleh Pindad, IPTN, INTI, LEN, dan Krakatau Steel. Sebanyak 60 persen komponennya dibuat di dalam negeri.

Habibie yang dikenal sebagai "Bapak Teknologi" tentu tidak main-main dengan karyanya. Tahapan pengembangan dapat dijelaskannya secara spesifik. Dimulai dari tahap pertama memproduksi mobil dengan mesin tiga silinder berkapasitas 1.200 cc. Perusahaan asal Amerika Serikat (AS) yakni Ford dan General Motor (GM), menggarap mesin Maleo yang bisa dikendalikan secara elektrik. Maleo pun dirancang dengan mesin yang irit bahan bakar dan rendah polusi.

(Baca: Mahathir Ajak Jokowi Kembangkan Mobil Nasional Indonesia-Malaysia)

Sayangnya, proyek pengembangan Maleo ini tidak berjalan sesuai harapan. Meski usulan pengembangan Maleo telah disetujui oleh DPR dan pemerintah, tetap saja pengembangan Maleo mandek. Dilansir dari berbagai sumber, proyek yang diharapkan dapat mendongkrak elektabilitas Soeharto pada Pemilu 1999 ini justru terbengkalai seiring dengan kejatuhan Presiden Soeharto.

Pada era yang sama, Bakrie Brothers juga mengembangkan Beta 97 MPV pada 1994. Bakrie meminta bantuan rumah desain Shado asal Inggris untuk menciptakan desain awal mobnas ini. Pada April 1995, desain Beta 97 MPV selesai dan mulai dikembangkan. Namun, nasib Beta sama dengan Maleo, karena bisnis Bakrie jatuh akibat krisis ekonomi 1998. Padahal, Bakrie telah menyiapkan aspek pendukung Beta 97 MPV dari perakitan hingga persiapan anggaran produksi pada Desember 1997.

Timor: Laris di Awal, Digugat di Akhir

Selain Habibie, pembuatan mobnas juga direalisasikan oleh dua anggota keluarga Cendana, yaitu Teknologi Industri Mobil Rakyat (Timor) oleh Tommy Soeharto dan Bimantara oleh Bambang Triatmojo.

Timor salah satu mobnas legendaris yang sempat laris pada era 1997-1998. Pembuatan Timor diiringi dengan keluarnya aturan mengenai pembebasan pajak impor mobil, jika memuat 60 persen komponen dalam negeri. Saat itu pajak impor mencapai 300 persen sehingga harga mobil impor melangit.

Penjualannya pun laris. Timor ditantang harus dapat memproduksi 15 ribu mobil pada September 1996. Dengan cepat, Tommy berhasil membuat 70 ribu unit mobil per tahun. Hal ini merupakan capaian fantastis bagi pemain baru. Saat itu, pasar mobil Indonesia hanya dapat mencapai 150 ribu unit per tahun.

(Baca: Duet Mobil Tiongkok Mengancam Dominasi Merek Jepang)

Namun, penjualan Timor tak bertahan lama. Kejatuhan Timor dimulai dari kabar yang beredar bahwa mobil ini bukanlah mobil nasional. Timor hanya mengganti logo Kia dari Korea yang merupakan satu-satunya perusahaan yang mau menjual mobilnya tanpa emblem Kia.

Adanya keistimewaan dari pemerintah dan tudingan kebohongan dari Timor membuat perusahaan anak Soeharto itu digugat ke World Trade Organization (WTO) oleh perusahaan Jepang. Timor dianggap melanggar ketentuan General Agreements on Tariff (GATT) atau kaidah perdagangan bebas. Pada 22 April 1998, Dispute Settlement Body WTO memutuskan Timor melanggar asas perdagangan bebas.

Dampak dari gugatan ini mengharuskan Timor ditutup setelah adanya kesepakatan antara Presiden Soeharto dan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional, Michel Camdessus. Diterbitkanlah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 20 tahun 1998 untuk mengakhiri mobnas. Keruntuhan Timor juga didukung turunnya Soeharto dari tampuk kepemimpinan sebagai orang nomor satu di Indonesia.

Selanjutnya, proyek Bimantara yang dinakhodai oleh Bambang Trihatmodjo. Bagai kembar identik, Bimantara memiliki beberapa kesamaan dengan Timor. Bimantara juga menggandeng perusahaan Korea Selatan untuk pengembangan mobilnya. Kala itu Bambang mempercayai Hyundai untuk di-rebadge.

Proyek ini pun melahirkan dua produk, yaitu Hyundai Accent dan Bimantara Nenggala. Kesamaan lainnya, nasib perusahaan otomotif putra Soeharto ini pun runtuh seiring dengan kejatuhan Orde Baru.

Esemka yang Sempat Jadi Kendaraan Dinas Jokowi

Kehadiran mobnas Vietnam memunculkan ingatan mengenai nasib mobnas Esemka yang hingga kini statusnya masih dipertanyakan. Sejak jatuhnya sanksi dari WTO terhadap Timor, belum ada pendefinisian mengenai mobnas. Konsep pengembangan mobnas harus tidak diskriminatif, agar tidak terkena sanksi dari WTO.

Esemka pertama kali digagas pada 2007 oleh Sukiyat untuk transfer ilmu kepada siswa-siswa SMK. Dua tahun kemudian, lahirlah mobil buatan anak SMK bernama Esemka Rajawali. Nama Esemka semakin melejit ketika Jokowi yang kala itu menjadi Walikota Solo menjadikan Esemka sebagai kendaraan dinasnya.

(Baca: Bahas Mobil Esemka, Jokowi Ingatkan Masalah Desain dan Harga)

Saat itu pengembangan Esemka sempat menjadi rebutan. Pengembangan mobnas ini diperkirakan membutuhkan modal awal Rp 100 miliar. Awalnya, Garansindo berminat untuk meminang Esemka dengan berinvestasi dan mengembangkan karya anak SMK ini. Namun, kerja sama ini gagal mencapai kesepakatan.

Pada 21 April 2015, perusahaan pimpinan AM Hendropriyono, PT Adiperkasa Citra Lestari berhasil menarik hati Esemka. Nama perusahan pun berubah menjadi PT Adiperkasa Citra Esemka Hero (ACEH). Esemka pun berkembang dengan membangun pabrik di di Boyolali, Bogor, dan lokasi lain di Jawa Barat

Pengembangan Esemka tidak berjalan mulus. Mobil ini sempat tidak lolos uji emisi gas buang hingga dua kali. Pada 2010, Esemka disebut memiliki gas buang yang terlalu tinggi. Dua tahun kemudian, uji emisi sebagai prasyarat mobil bisa diproduksi, kembali gagal.

Akhirnya pada Agustus 2012, pengujian emisi ketiga kalinya berhasil dan Esemka dinilai memenuhi standar. Meskipun telah lulus emisi, Esemka harus mengurangi bobot kendaraan hingga setengahnya.

(Baca: Bahas Mobil Esemka, Jokowi Ingatkan Masalah Desain dan Harga)

Meskipun telah melalui serangkaian pengembangan sejak 2009, hingga saat ini Esemka belum dapat diproduksi massal. Hal ini dikarenakan standar emisi Euro 4 telah diberlakukan untuk semua jenis kendaraan roda empat. Sementara Esemka baru mendapatkan Sertifikat Uji Tipe (SUT) bermesin Euro 2. Artinya, mobil Esemka yang telah mendapat SUT harus melalui pengujian ulang dengan mesin yang berbahan bakar Euro 4.

Hingga saat ini Esemka masih melakukan pembenahan dan menunggu kepastian pemerintah mengenai program mobil nasional. Jokowi saat membuka pameran Gaikindo Indonesia Internasional Auto Show (GIIAS) tahun lalu mengatakan pemerintah berkewajiban terus mendorong agar industri otomotif berkembang.

Meski begitu, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Ardika menyampaikan, sampai saat ini ia belum mendapatkan arahan program pemerintah mengenai mobil nasional.

(Baca: Mobil Pedesaan Akan Diproduksi Massal di Tahun Pemilihan Presiden)