Komisi Pemilihan Umum (KPU) menilai salah satu dalil gugatan tim hukum pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, di Mahkamah Konstitusi menyangkut dugaan rekayasa Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng), tidak logis.
Dalam gugatannya, kubu Prabowo-Sandiaga mendalilkan KPU melakukan rekayasa tersebut. Namun, dalam petitum, mereka meminta MK membatalkan perolehan suara hasil rekapitulasi secara manual. “Ini namanya enggak nyambung,” kata Komisioner Pramono Ubaid Tanthowi, Sabtu (15/6), kepada Antara.
Pramono menilai Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga mencoba membangun asumsi bahwa hasil perolehan suara di Situng sengaja diatur untuk mencapai target angka tertentu yang sesuai dengan rekapitulasi manual. “Ini adalah asumsi yang tidak tepat. Pemohon mencoba menyusun teori adjustment atau penyesuaian,” ujarnya.
Mantan ketua Bawaslu Banten tersebut menjelaskan meski berawal dari Form C1 yang sama, alur penghitungan Situng dan rekap manual jelas berbeda. Dalam Situng, petugas memindai Form C1 kemudian langsung mengunggahnya ke sistem informasi tersebut tanpa perlu menunggu rekapitulasi di tingkat atasnya.
(Baca: BPN Prabowo-Sandiaga Bakal Hadirkan Saksi Menghebohkan saat Sidang MK)
Sementara, rekap manual dilakukan secara berjenjang mulai dari kecamatan, KPU kabupaten-kota, KPU provinsi hingga KPU Pusat. “Nah, angka yang digunakan untuk menetapkan perolehan suara setiap peserta pemilu adalah angka yang direkap secara berjenjang itu,” kata Pramono.
Pemohon gugatan, menurut Pramono, tidak pernah membahas dugaan kecurangan dalam proses rekapitulasi berjenjang. Tim Hukum Prabowo-Sandiaga juga tidak memberikan bukti rinci dugaan pelanggaran rekapitulasi berjenjang tersebut, seperti nama TPS, kecamatan, kabupaten atau kota tertentu.
“Sama sekali tidak ada. Jadi, tuntutan agar hasil rekap manual dibatalkan karena Situng katanya direkayasa, itu didasarkan pada logika yang tidak nyambung,” ujarnya.
Kubu Prabowo Akui Sulit Buktikan Kecurangan Pilpres 2019
Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Priyo Budi Santoso mengakui untuk membuktikan kecurangan dalam Pilpres 2019 bukan pekerjaan mudah. Sebab, Priyo menilai kecurangan tersebut dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Selain itu, Priyo menyebut aturan terkait Pemilu di Indonesia bersifat sangat teknis. Karena itu, sulit untuk bisa mengungkapkannya secara jelas kepada publik. "Untuk membuka, membongkar sebuah fakta yang demikian kelam ini memang bukan pekerjaan yang mudah," kata Priyo dalam sebuah diskusi di Jakarta siang tadi.
Namun, Priyo menyebut pihaknya dapat merasakan kecurangan yang terjadi dalam Pilpres 2019. Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga lantas berupaya mencari bukti kecurangan tersebut yang kemudian menjadi dalil gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Beberapa kecurangan yang telah ditemukan tersebut, antara lain terkait dengan penyalahgunaan anggaran negara dan program kerja pemerintah untuk pemenangan pasangan calon petahana. Kemudian, penyalahgunaan serta ketidaknetralan aparat kepolisian dan intelijen selama Pilpres 2019. "Secara substantif bau ini kami rasakan dan tidak bisa tidak kami rasakan adanya kecurangan yang bersifat TSM," kata Priyo.
Karena itu, Prabowo-Sandiaga dalam petitum gugatannya meminta agar MK bisa mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin. MK pun diminta menyatakan perolehan suara Prabowo-Subianto sebesar 68.650.239 atau 52%. Sementara pesaingnya, Joko Widodo-Ma'ruf hanya memperoleh suara sebesar 63.573.169 atau 48%. Jika hal itu tidak bisa dilakukan, Priyo menyebut pihaknya meminta MK untuk bisa melakukan pemungutan suara ulang di seluruh Indonesia.
(Baca: KPU Akui Terganjal Soal Waktu untuk Jawab Gugatan Pilpres di MK)
Menanggapi hal tersebut, anggota Tim Kuasa Hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Taufik Basari menilai pembuktian di MK tidak bisa didasarkan pada perasaan semata. Kubu Prabowo-Sandiaga, menurut dia, harus bisa membuktikan tuduhan tersebut lewat fakta-fakta yang jelas.
Adapun, Taufik mempertanyakan bukti-bukti yang dilampirkan dalam dokumen gugatan Prabowo-Sandiaga. Sebab, kata Taufik, bukti yang dibawa kebanyakan merupakan tautan berita dari media massa tanpa adanya bukti lanjutan.
Bukti-bukti tersebut pun dianggap tidak relevan dengan dalil yang disampaikan. "Banyak hal yang menurut kami mengada-ada. Jadi keinginannya hanya untuk membangun narasi, satu peristiwa ke peristiwa lain, disambungkan, dibuat dengan sistem cocoklogi," kata Taufik.