5. Dr. Suhartoyo, S.H., M.H.
Hakim kelahiran Sleman, Yogyakarta pada 15 November 1959 ini mengawali kariernya sebagai hakim di Pengadilan Negeri. Sarjana hukum lulusan Universitas Islam Indonesia 1983 ini memulai kiprahnya sebagai calon hakim di PN Bandar Lampung pada 1986. Tiga tahun kemudian, ia menjadi hakim PN Curup 1989, PN Metro pada 1995, hingga menjadi Wakil Ketua PN Kotabumi pada 1999.
Kariernya terus berlanjut sebagai hakim PN Tangerang 2001, Ketua PN Praya 2004, lalu kembali ke Jawa sebagai hakim PN Bekasi pada 2006. Ia lantas menjabat sebagai wakil ketua PN Pontianak pada 2009 hingga menjadi ketua di sana setahun setelahnya. Satu tahun kemudian Suhartoyo menjadi Wakil Ketua PN Jakarta Timur lalu menjadi Ketua PN Jakarta Selatan pada 2011. Jabatan terakhirnya sebelum di MK adalah hakim Pengadilan Tinggi Denpasar hingga 2015.
Suhartoyo mendapatkan gelar S2 dari Universitas Tarumanegara pada 2003 dan gelar doktor dari Universitas Jayabaya pada 2014. Saat pencalonan sebagai hakim konstitusi, Suhartoyo pernah tersandung penolakan Komisi Yudisial. Pasalnya, ada dugaan pelanggaran etik pada perkara buron Sudjiono Timan dalam kasus Peninjauan Kembali perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
KY menyebut Suhartoyo bolak balik ke Singapura 18 kali pada 2013 atau pada periode PK tersebut. Ia juga membantah bertemu adik Sudjiono di Singapura. “Saya hanya satu kali terbang ke Singapura,” kata dia.
6. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum.
Hakim konstitusi kelahiran Pangkal Pinang, 27 Juni 1962 ini merupakan alumni Fakultas Hukum UGM 1981. Hakim yang dilantik menggantikan Maria Farida Indrati ini lama bergelut dengan urusan akademi pada Hukum Tata Negara di FH UGM. Lulusan S2 Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran dan S3 Hukum UGM ini bersama mantan ketua MK Mahfud M.D. sempat membuat Parliament Watch pada 1998.
Enny pernah menjadi tim seleksi calon Anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Yogyakarta. Ia juga turut membuat aturan Pemilihan Walikota Yogyakarta pada 2006. Jabatan terakhirnya sebelum menjadi hakim MK adalah Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Saat dilantik, Enny mengatakan akan independen dalam menjalankan tugasnya. Hal ini menjawab pertanyaan para wartawan terkait jabatan sebelumnya sebagai Kepala BPHN Kementerian Hukum dan Hal Azasi Manusia (Kumham) yang bertugas merumuskan Undang-Undang. Menurutnya, independensi merupakan kunci dalam pelaksanaan tugasnya sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi. "Kalau bisa melakukan itu, kita bisa menanggalkan posisi di mana kita berada," kata Enny saat itu.
7. Dr. Manahan M.P. Sitompul S.H., M.Hum.
Pria kelahiran Tarutung, 8 Desember 1953 ini sempat berkarir di dunia penerbangan dengan menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Unit Keselamatan Penerbangan di Bandara Polonia, Medan. Namun belakangan ia banting setir lantaran mengambil kuliah jurusan Hukum Internasional di kelas karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan lulus 1982.
Setelahnya ia memulai karier di dunia pengadilan dengan dilantik menjadi hakim di Pengadilan Negeri Kabanjahe. Karier Manahan banyak berputar-putar seputaran Sumatera Utara hingga tahun 2002 dilantik menjadi Ketua PN Simalungun, hakim di PN Pontianak tahun 2003, Wakil Ketua PN Sragen tahun 2005, hingga 2007 dipercaya menjadi Ketua PN Cilacap. Usai menjabat di sejumlah PN daerah, Manahan lantas menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Manado pada tahun 2010.
Tahun 2013, ia sempat mengikuti tes sebagai calon hakim agung di Mahkamah Agung namun gagal saat uji kepatutan di Dewan Perwakilan Rakyat. Manahan akhirnya dipanggil ikut uji kepatutan menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi di Pangkal Pinang dan lolos. Tahun 2015, suami dari Hartaty Malau ini ikut fit and proper test sebagai hakim konstitusi di MK dan lolos.
Manahan juga mendapatkan seluruh gelar akademiknya dari USU. Pada tahun 2001, ia meraih gelar magister dari jurusan Hukum Bisnis di 2001, menyusul tahun 2009 mendapatkan gelar Doktor dari jurusan yang sama.
8. Prof. Dr. Saldi Isra., S.H., MPA.
Nama terakhir ini sebelum dilantik di MK dikenal sebagai pengamat hukum tata negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Andalas ini awalnya bekerja sebagai dosen Universitas Bung Hatta, Padang pada 1995. Tidak berapa lama di tahun yang sama, Saldi kembali ke almamaternya untuk mengajar selama 22 tahun.
Pria kelahiran 20 Agustus 1968 ini juga sempat kuliah di Universiti Malaya dan mendapat gelar Master of Public Administration pada 2001. Ia meraih gelar Doktor di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2009 dan dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas setahun kemudian.
Saldi sejak lama memimpikan karier sebagai hakim konstitusi. Ia semakin mantap mencalonkan diri sebagai hakim konstitusi pada 2017 setelah berdiskusi dengan Mahfud M.D. Saat itu Mahfud mengatakan, apabila Saldi tak mau mendaftar sama saja dengan menutup peluang generasi baru di MK. Setelah menyisihkan dua orang kandidat lain, Saldi akhirnya dilantik Presiden Joko Widodo menjadi hakim konstitusi menggantikan Patrialis Akbar. "Itu beberapa pertimbangan saya," kata Saldi seperti dikutip dari situs MK.
(Baca: KPU Siapkan Dokumen dan Rekrut Kuasa Hukum Hadapi Gugatan Prabowo)
9. Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum
Palguna sempat menolak saat ditawari menjadi hakim konstitusi untuk kedua kalinya. Pertama kali tawaran untuk melanjutkan profesi yang pernah digelutinya selama lima tahun tersebut datang dari Jimly Asshiddiqie yang saat itu menjabat ketua MK. Palguna menolak secara halus tawaran ini karena ingin melanjutkan studi S3-nya.
Pada 2013, ia kembali menerima tawaran untuk mendaftar sebagai hakim konstitusi dari anggota DPR. Palguna lagi-lagi menolak dengan alasan ingin fokus di ranah akademis dan membantu almamaternya untuk proses akreditasi.
Permintaan terakhir pada 2014 datang dari Presiden Joko Widodo. Palguna sungguh tidak menyangka presiden akan memilihnya. Pria yang pernah bercita-cita menjadi tentara ini akhirnya menerima tawaran menjadi hakim konstitusi untuk periode kedua. Sebelumnya pada 1999-2004, Palguna pernah menjadi anggota MPR RI sebagai utusan daerah. Ia merupakan salah satu pelaku sejarah ketika MPR RI mengamandemen UUD 1945.
Palguna menyelesaikan studi S1 di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bidang Kajian Utama Hukum Tata Negara pada 1987. Ia mendapat gelar master pada Program Pasccasarjana Universitas Padjajaran, Bidang Kajian Utama Hukum Internasional pada 1994. Program doktoral ia tempuh linier di bidang hukum, yaitu Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan Bidang Kajian Hukum Tata Negara pada 2011.