Para Jenderal dan Pro ISIS di Pusaran Aksi 22 Mei

Sejumlah peserta aksi Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat saat melakukan unjuk rasa di depan gedung Bawaslu, Jakarta, 22 Mei 2019. Aksi 22 Mei tersebut merupakan bentuk menyikapi hasil rekapitulasi Pemilu 2019 oleh KPU RI.
24/5/2019, 20.03 WIB

Aksi masa pendukung pasangan peserta Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang menuntut penyelesaian kecurangan Pemilu berujung bentrok dengan aparat keamanan. Sejumlah jenderal dan purnawirawan tentara dan polisi, serta kelompok pro Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) berada dalam pusaran demonstrasi ini. Meski begitu pemerintah masih terus mencari dalang di balik kerusuhan tersebut.

Dari hasil penelusuran, aparat mulai menemukan beberapa barang bukti. Salah satunya sepucuk senjata laras panjang M4 yang diselundupkan pada aksi 22 Mei. Hal tersebut dikatakan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.

Senjata tersebut rencananya akan digunakan untuk menembak massa aksi di depan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tito menjelaskan tujuannya agar seolah aparat yang melakukan penembakan sehingga menimbulkan reaksi massa. "Laras panjang ini kalau ditembak tidak terdengar, dilengkapi pisir dan teleskop," kata Tito saat memamerkan barang bukti tanggal 22 Mei lalu.

Belum jelas hubungannya, tapi sehari sebelumnya, Wiranto pada hari Selasa (21/5) telah menyebut mantan Danjen Kopassus  Mayor Jenderal TNI (purnawirawan) Soenarko sebagai sebagai tersangka penyelundupan senjata ilegal. "Ada keterkaitan senjata gelap dari Aceh," kata Wiranto.

(Baca: Wiranto Klaim Mengetahui Dalang Kerusuhan Aksi 21-22 Mei)

Beberapa barang bukti lain mobil ambulan berlogo Partai Gerindra yang berisi batu, serta sejumlah amplop dan uang. Wiranto dalam kesempatan terpisah juga mengaku telah mengetahui siapa nama dalang aksi kerusuhan tersebut. Dia juga menjanjikan akan menindak tegas pihak-pihak tak bertanggung jawab itu. "Ada skenario membuat kekacauan dengan menyerang petugas," katanya.

Soenarko sebelumnya telah dilaporkan oleh seseorang bernama Humisar Sahala ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri atas tuduhan makar. Basisnya adalah video percakapan Soenarko dengan beberapa orang tentang rencananya mengepung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hingga Istana Presiden pada 22 Mei 2019.

"Kalau tanggal 22 Mei Jokowi menang, kita tutup KPU, kemudian ada yang tutup Istana dan DPR. Tidak perlu ke Monas," katanya dari video yang beredar di Youtube.

Sosok Soenarko tak asing di dunia kemiliteran. Dia pernah menjabat Danjen Kopassus pada 2007-2008. Setelahnya lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) 1978 itu sempat menjabat sebagai Panglima Daerah Militer Iskandar Muda Aceh hingga 009. Dia pensiun sebagai Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri pada  2010.

(Baca: Anies Sebut 8 orang Meninggal dalam Kerusuhan 21-22 Mei)

Setelahnya, pria kelahiran Medan, 1 Desember 1965 ini banyak berkecimpung di bidang politik. Meski tak ada pernyataannya langsung soal kedekatannya dengan Prabowo Subianto, namun Soenarko sempat menjadi politisi Gerindra pada 2012-2016. Tahun 2017 dia bergabung dengan partai lokal di Aceh, yakni Partai Nanggroe Aceh.

Soenarko bukan satu-satunya mantan jenderal yang ada dalam pusaran demonstrasi 21-22 Mei 2019. Ada pula mantan Pangdam Jaya Letnan Jenderal TNI Sjafrie Sjansoeddin. Dalam akun Twitternya, Sjafrie juga terlihat sedang menunaikan ibadah di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Foto tersebut diunggah pada 21 Mei.

Bukan kali pertama Sjafrie ikut menghadiri aksi, dalam postingan 10 Mei lalu, ia juga datang di depan Bawaslu dengan baju koko berwarna putih lengkap dengan peci hitam. "Jika hak rakyat dizalimi, teruslah berjuang sampai Allah menghentikan," cuitnya saat itu. 

Mantan Wakil Menteri Pertahanan 2010-2014 ini juga terlihat sempat menenangkan massa yang berada di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang, pada 22 Mei, saat kerusuhan berlangsung. Dia berpesan agar massa tak perlu terprovokasi dan terpancing, serta tetap tertib dalam menggelar aksi.

(Baca: Aksi Massa 22 Mei yang Menyulut Risiko Ekonomi)

"Umat tenang dan jangan terprovokasi, insya Allah, Allah bersama kita dan mendapat pertolongan serta perlindungan-Nya," cuit dia hari Rabu (22/5) kemarin. Sementara Wiranto menyebut pihaknya masih mendalami keterlibatan Sjafrie dalam kasus senjata.

Bukan kebetulan Sjafrie mendukung Prabowo menduduki posisi yang pernah dijabat mantan mertuanya selama 32 tahun. Keduanya sama-sama bertemu di Lembah Tidar, Magelang sebagai taruna Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) angkatan 1974. Kala itu Prabowo seharusnya menamatkan pendidikan pada 1973 bersama Susilo Bambang Yudhoyono, Ryamizard Ryacudu, dan Djoko Suyanto. Namun, karena ada beberapa masalah, Prabowo baru lulus setahun setelahnya bersama Sjafrie dan Glenny Kairupan.

Keduanya juga memulai karir di Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang dikemudian hari bernama Korps Pasukan Khusus (Kopassus). Prabowo lalu ditempatkan di Timor Timur (kini menjadi negara Timor Leste) sebagai komandan operasi Tim Nanggala. Sedangkan Sjafrie menjadi Komandan Tim Nanggala X di lokasi yang sama, meski belakangan dia akhirnya menjadi Komandan Tim Nanggala XXI di Aceh. 

Purnawirawan di Front Kedaulatan Bangsa

Ratusan perwira tinggi purnawirawan TNI dan Polri pendukung Prabowo pun sempat menyatakan ikut turun mengawal aksi 22 Mei. Mereka yang tergabung dalam Front Kedaulatan Bangsa ini juga menegaskan menolak hasil perhitungan suara yang dilakukan oleh KPU. Penolakan diputuskan lantaran dalam Pemilu 2019 dianggap sebagai Pemilu yang penuh dengan kecurangan.

“Perjuangan ini lahir dari hati nurani rakyat. Karena dia (Prabowo) sudah telah diserang, dan disengsarakan,” Ketua Front Kedaulatan Bangsa, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto saat menggelar konferensi pers di Hotel Gran Mahakam, Jakarta Selatan, Senin (20/5).

(Baca: TKN Kritik Prabowo Abai dalam Aksi 22 Mei yang Berujung Kerusuhan)

Kelompok pensiunan tentara dan polisi ini juga menilai saat ini bangsa dan negara Indonesia tengah mengalami kondisi politik yang tidak stabil. Semua disebabkan karena hak kedaulatan rakyat dalam kehidupan demokrasi telah dirampas.

Forum suara kedaulatan sendiri dikomandoi mantan KSAD Tyasno Sudarto dan Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso (Ketua BPN Prabowo- Sandiaga). Gerakan tersebut juga didukung ratusan perwira tinggi purnawirawan TNI dan Polri lainnya, diantaranya Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edi P, Marsekal TNI (Purn) Imam Sufaat, Letjen TNI (Purn) Sjafrie Syamsuddin.

Kemudian, Letjen TNI (Purn) Burhanudin Amin, Letjen TNI (Purn) Bibit Waluyo, Letjen TNI (Purn) Nugroho Widiotomo, Letjen TNI (Purn) Yayat Sudrajat, Letjen TNI (Purn) Agus Sutomo, Letjen TNI (Purn) Romulo Simbolon, Letjen TNI (Purn) Yunus Yosfiah, Letjen TNI (Purn) Suyono, Letjen TNI (Purn) Syarwan Hamid, Letjen TNI (Purn) Liliek AS, Letjen TNI (Purn) Muzani Syukur, Laksdya TNI (Purn) Mukhlas Sidik, dan lain-lain.

Keterlibatan ISIS

Pihak lain yang disinyalir polisi terlibat dalam aksi 21 dan 22 Mei adalah elemen dari Gerakan Reformasi Islam (Garis). Kadiv Humas Mabes Polri, M Iqbal mengatakan aparat menangkap dua orang tersangka perusuh dari kelompok yang sempat terafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) ini. "Dua tersangka dari luar Jakarta ini terafiliasi kelompok Garis," kata Iqbal.

(Baca: Moeldoko: Ada 3 Orang Aktor Penyelundup Senjata di Aksi 22 Mei)

Kelompok ini juga sempat bersinggungan dengan Prabowo saat kampanye di Cianjur, Maret 2019 lalu. Saat itu, Prabowo menggunakan mobil Toyota Alphard milik Ketua Garis, Chep Hernawan, yang pernah mendeklarasikan sebagai Presiden ISIS di Indonesia.

Chep bahkan sempat diciduk polisi di Majenang, Cilacap usai menjenguk narapidana kasus terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. Namun lantaran tak ada bukti pidana, dia kemudian dilepaskan. "Mereka juga sudah mengirim kader ke Suriah," kata Iqbal.

Chep tidak menjawab panggilan telepon dan pesan dari Katadata.co.id yang ingin mengkonfirmasi keterlibatan anak buahnya dalam aksi rusuh hingga afiliasi dengan ISIS. Namun dari klarifikasinya kepada sejumlah media, dia membantahnya. 

Dia mengaku hanya mengirim 8 tenaga media dan 2 ambulans sebagai rasa kemanusiaan. Dia juga kembali menyampaikan bantahannya terhadap tuduhan dirinya terkait organisasi teroris seperti ISIS. "Saya sudah jelaskan kepada pihak aparat kepolisian sejak dulu, tapi selalu dikaitkan setiap aksi kerusuhan," demikian pernyataannya dikutip Tempo, Jumat (24/5).