Dipta tertunduk lesu setelah mendengar kabar motornya habis tinggal rangka di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Tak ada lagi sisa dari motor jenama Suzuki Shogun itu setelah dipakai Dipta meliput kericuhan yang terjadi di kawasan tersebut pada Rabu (22/5) hingga Kamis (23/5) dini hari.
Motor milik jurnalis salah satu media massa cetak nasional itu terbakar setelah kericuhan meluas ke Jalan Wahid Hasyim dari depan gedung Bawaslu, Jakarta. Padahal, motor tersebut yang setia mengantar Dipta meliput di Ibu Kota sehari-hari.
"Motor saya tinggal tersisa setang, rangka, dan bannya saja," kata Dipta kepada Katadata, Kamis (23/5).
Dipta bercerita, awalnya ia ditugaskan untuk memantau kondisi aksi unjuk rasa di depan gedung Bawaslu pada Rabu (22/5) siang. Ketika itu, Dipta bertolak dari gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) setelah memantau kondisi keamanan di lokasi penyelenggara Pemilu tersebut.
Hanya saja, Dipta kehabisan lokasi parkir di sekitar gedung Bawaslu karena massa aksi sudah memadati kawasan tersebut. Alhasil, Dipta memarkirkan motornya di pedestrian jalan Wahid Hasyim bersama beberapa kendaraan lainnya.
"Karena saya merasa massa aksi akan bubar setelah buka puasa, maka saya beranikan parkir motor di pedestrian," kata Dipta.
Pikiran Dipta ternyata jauh dari realita di lapangan. Kericuhan antara massa dan aparat keamanan justru pecah setelah buka puasa diadakan. Massa melempari polisi dengan batu, botol, petasan hingga bom molotov. Aparat keamanan yang berjaga membalas serangan massa dengan menembakkan gas air mata, petasan, dan water cannon.
Konsentrasi massa pun terbelah ke arah Medan Merdeka, Tanah Abang, dan Wahid Hasyim. Di ketiga lokasi tersebut, kericuhan antara massa dan aparat keamanan kembali terjadi.
Dipta yang hendak pulang sekitar pukul 22.00 WIB pun mengurungkan niatnya karena kericuhan masih terjadi. Selain itu, dia kesulitan mengambil motornya karena konflik justru berpindah ke Jalan Wahid Hasyim.
Pada Kamis (23/3) pukul 03.00 WIB, ketika konflik sudah mulai mereda, barulah Dipta berniat pulang. Nahas, ketika itu motornya sudah terbakar habis. "Semua motor sudah enggak berbekas apapun di situ," kata Dipta.
(Baca: Kronologi Lengkap Demonstrasi Berujung Rusuh di Bawaslu 22 Mei Subuh)
Dipta bukan satu-satunya jurnalis yang mengalami kisah duka ketika meliput kericuhan di depan Gedung Bawaslu. Ada pula jurnalis Tribunnews.com, Danang Triatmojo yang mesti terjebak di tengah kerumunan massa ricuh.
Kisah tersebut bermula ketika Danang hendak meliput aksi unjuk rasa di depan Gedung Bawaslu pada pukul 18.00 WIB. Ia berjalan kaki dari Balai Kota Jakarta, berbelok ke Jalan Sabang dan Wahid Hasyim, sebelum tiba di lokasi aksi.
Persoalannya, jalan tersebut sudah penuh dengan massa ketika dihampiri Danang. Dia pun akhirnya berputar arah melewati Jalan M.H Thamrin dan menembus barisan massa untuk bisa sampai ke lokasi aksi.
Ketika hampir sampai di dekat titik utama aksi, rupanya suasana mulai memanas. Seruan koordinator aksi agar massa pulang tak diindahkan. Massa lalu melempari batu, botol, petasan dan lainnya ke arah aparat keamanan yang berjaga.
Di samping itu, massa mulai membakar ban dan sampah di tengah jalan. Melihat itu, aparat keamanan menembakkan gas air mata ke arah massa. "Saya panik di tengah massa, berdesak-desakkan. Situasinya benar-benar gemetar," kata Danang.
Danang terjebak di tengah kerumunan massa itu sekitar satu jam. Karena kondisi yang semakin tak kondusif, ditambah mata perih akibat gas air mata, Danang akhirnya lari mengamankan diri.
Dia masuk ke dalam Kementerian Agama. Di sana, Danang bertemu dengan para tentara yang tengah berjaga. Danang bertahan sampai terdengar adzan isya berkumandang. "Saat adzan isya, massa situasinya lebih tenang. Saya langsung lari ke Balai Kota agar lebih aman," ujarnya.
(Baca: TKN Kritik Prabowo Abai dalam Aksi 22 Mei yang Berujung Kerusuhan)
Intimidasi dan Kekerasan Terhadap Jurnalis
Lain Dipta dan Danang, lain pula kisah yang dialami jurnalis Republika, Ronggo Astungkoro. Selain mengalami mata perih karena terkena gas air mata, Ronggo sempat mendapatkan intimidasi dari aparat keamanan ketika meliput kericuhan.
Hal tersebut terjadi ketika Ronggo tengah mengambil gambar aparat keamanan yang sedang beristirahat. Ronggo berniat membuat berita mengenai betapa lelahnya aparat ketika berjibaku mengamankan gedung Bawaslu dari massa aksi yang ricuh.
Hanya saja, aparat keamanan tak terima dengan tindakan Ronggo yang memfoto mereka tengah beristirahat. Mereka lantas meminta Ronggo untuk menghapus foto-foto tersebut.
"Sudah saya jelaskan angle-nya bagaimana, tetap saja begitu. Saya disuruh hapus foto-foto," ujar Ronggo.
Lebih lanjut, ada beberapa jurnalis yang terkena lemparan dari massa aksi yang ricuh. Berdasarkan pantauan Katadata, jurnalis dari CNNIndonesia.com dan Tribun Jakarta terkena lemparan batu. Ada pun, jurnalis Katadata terkena lemparan traffic cone saat meliput.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta sendiri mencatat ada tujuh jurnalis yang mengalami tindakan kekerasan, intimidasi, dan persekusi ketika meliput aksi 23 Mei dini hari.
Mereka antara lain jurnalis CNNIndonesia TV Budi Tanjung, jurnalis CNNIndonesia.com Ryan, jurnalis MNC Media Ryan, jurnalis Radio Sindo Trijaya Fajar, jurnalis Alinea.id Fadli Mubarok, serta dua jurnalis RTV Intan Bedisa dan Rahajeng Mutiara.
Budi dipukul di bagian kepala dan rekaman videonya di ponsel dihapus oleh beberapa anggota Brimob di depan Gereja Kristen Indonesia (GKI). Sementara, polisi merebut ponsel dan meminta Ryan menghapus video ketika mereka tengah menangkap provokator massa di Jalan Jatibaru.
(Baca: Peretail Taksir Kerugian Triliunan Rupiah Dampak Kerusuhan 22 Mei)
Ryan dipukul di bagian wajah, leher, lengan kanan bagian atas dan bahu oleh beberapa polisi dan orang berseragam bebas. Mereka juga menggunakan tongkat untuk memukul Ryan.
"Aparat kepolisian tetap melakukan kekerasan walaupun Budi dan Ryan mengaku sebagai jurnalis, bahkan telah menunjukkan identitasnya sebagai jurnalis," kata Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani.
Asnil mengatakan, kekerasan terhadap jurnalis juga dilakukan oleh massa aksi. Mereka melakukan persekusi dan merampas peralatan kerja jurnalis seperti kamera, telepon genggam, dan alat perekam.
Massa memaksa jurnalis untuk menghapus semua dokumentasi berupa foto maupun video. Beberapa jurnalis bahkan mengalami tindak kekerasan fisik berupa pemukulan.
Menurut Asnil, berbagai tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai sensor terhadap produk jurnalistik. Hal tersebut termasuk pelanggaran pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Atas dasar itu, AJI Jakarta bersama LBH Pers mendesak aparat keamanan untuk mengusut tuntas kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis. AJI Jakarta dan LBH Pers juga mengimbau para pimpinan media massa bertangung jawab menjaga dan mengutamakan keselamatan jurnalisnya.
Mereka pun mengimbau para jurnalis yang meliput aksi untuk mengutamakan keselamatan dengan menjaga jarak saat terjadi kerusuhan. "Sebab tidak ada berita seharga nyawa," kata Asnil.
(Baca: Fadli Zon Sebut Massa Aksi Bawaslu Bukan Relawan BPN)