Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan, butuh dana Rp 323 triliun hingga Rp 466 triliun untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta. Anggaran itu mencakup pembangunan infrastruktur pemerintahan, kegiatan ekonomi, transportasi, permukiman, serta ruang terbuka hijau.
Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyiapkan dua opsi pemindahan penduduk. Pertama, ada 1,5 juta penduduk yang bakal pindah seiring dengan perpindahan ibu kota negara. "Seluruh penduduk itu akan ikut pindah ke ibu kota baru menggunakan estimasi data 2017," kata Bambang di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4).
(Baca: Macet dan Banjir, Alasan Jokowi akan Pindahkan Ibu Kota dari Jakarta)
Penduduk yang akan pindah ini merupakan golongan Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota parlemen, Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY), serta Polisi Republik (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Setidaknya satu keluarga mencakup empat orang anggota.
Bila opsi ini yang dipilih pemerintah, maka biaya yang dibutuhkan bisa mencapai Rp 466 triliun atau sekitar US$ 33 miliar. Sementara lahan yang dibutuhkan mencapai 40 ribu hektare.
(Baca: Rencana Pemindahan Ibu Kota Diputuskan Setelah Pilpres 2019)
Kedua, membatasi penduduk yang bakal dipindahkan menjadi hanya 184 ribu orang. Jika dihitung dengan keluarga, maka ada 870 ribu orang yang akan pindah ke ibu kota baru. Bila memilih opsi ini, maka kebutuhan pendanaannya diperkirakan hanya Rp 323 triliun atau US$ 23 miliar. Sebab, lahan yang digunakan hanya 30 ribu hektare.
Bambang menyampaikan, infrastruktur pemerintahan akan menggunakan lima persen dari lahan yang disiapkan. Lalu, lahan untuk sarana-prasrana ekonomi, transportasi, permukiman, dan ruang terbuka hijau masing-masing 15, 20, 40, dan 20%.
(Baca: Bappenas Serahkan Kajian Ibukota Baru ke Jokowi Akhir Bulan Ini)
Untuk pembiayaannya, Bappenas menyebut ada empat sumber pendanaan. Pertama, Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) untuk infrastruktur seperti kantor pemerintahan dan parlemen. Kedua, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyiapkan infrastruktur utama dan fasilitas sosial.
Ketiga, pembiayaan lewat Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk infrastruktur lain. Keempat, swasta membikin properti perumahan dan fasilitas komersial.
Tiga Alternatif Pemindahan Ibu Kota Negara
Secara umum, Bappenas juga menyiapkan tiga kajian terkait alternatif pemindahan ibu kota. Pertama, ibu kota tetap di Jakarta tetapi ada distrik khusus untuk pusat pemerintahan. Distrik itu di sekitar Monumen Nasional dan Istana Negara, Jakarta Pusat.
Apabila pemerintah memilih alternatif ini, perlu disiapkan transportasi massal di distrik ini guna memudahkan mobilitas antar pegawai kementerian dan lembaga (K/L). "Artinya harus mengubah peruntukan wilayah. Kerugiannya tentu hanya akan menguatkan Jakarta sebagai pusat Indonesia, sehingga kekhawatiran dampak urbanisasi terhadap ekonomi tidak optimal," ujar dia.
(Baca: Wacana Memindahkan Ibu Kota)
Kedua, memindahkan ibu kota ke wilayah lain yang jaraknya hanya 60 sampai 70 kilometer dari Jakarta. Contohnya, Jonggol di Jawa Barat atau Maja di Banten. Keuntungannya, proses pemindahan ibu kota menjadi lebih dekat. Kelemahannya, Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) masih menjadi pusat kontribusi ekonomi terbesar.
Ketiga, memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa. Namun, lokasi harus strategis dan berada di tengah wilayah Indonesia secara geografis. Hal ini penting supaya ibu kota negara merepresentasikan keadilan dan percepatan ekonomi di wilayah timur Indonesia.
Bappenas pun menetapkan beberapa syarat dalam memilih wilayah yang bakal menjadi ibu kota. Di antaranya, tidak ada biaya pembebasan lahan dan minim terjadinya bencana alam seperti gempa bumi, gunung berapi dan lainnya. "Kami harus mencari lokasi yang benar-benar minim dari segi risiko bencana," kata dia.
(Baca: DPR Setuju Tambah Anggaran Bappenas Untuk Kaji Pemindahan Ibukota)
Ia usul agar lokasi ibu kota yang baru merupakan daerah yang sudah memiliki akses mobilitas dan logistik. Hal ini bertujuan agar investasi awal infrastruktur menjadi lebih efisien, karena tidak perlu membangun bandara, pelabuhan, dan jalan. Selain itu, perlu ada layanan air minum, sanitasi, listrik, dan jaringan komunikasi yang memadai, serta dekat dengan pantai.
Dalam hal pertahanan dan keamanan, perimeter juga sesuai dengan tingkat kerawanan dari serangan untuk wilayah teritorial. Karena itu, ibu kota yang baru diupayakan tidak dekat dengan perbatasan negara.
(Baca: Pemerintah Kaji Pindahkan Ibukota ke Kalimantan, Keputusannya 2019)
Perihal aspek sosial, Bambang menyampaikan bahwa masyarakat di ibu kota yang baru harus terbuka guna meminimalkan potensi konflik nasional terhadap pendatang. "Kami harapkan tidak ada dampak negatif terhadap komunitas lokal," ujarnya.
Menurutnya, pemindahan ibu kota bakal menambah kegiatan perekonomian Indonesia. Sebab, Pulau Jawa sudah menyumbang 58% Produk Domestik Bruto (PDB). Bila ibu kota dipindahkan, ia optimistis kontribusi wilayah lain terhadap PDB bisa bertambah.
(Baca: Menteri PU: Tiga Provinsi di Kalimantan Jadi Calon Ibu Kota Baru)