PT Digital Semantika Indonesia (Digital Happiness), pengembang gim horor DreadOut 2, bakal kolaborasi bersama beberapa produk lokal untuk pengembangan hak kekayaan intelektual. Salah satu nama yang bakal menjadi mitra adalah merek tas lokal Exsport.
Founder Digital Happiness Rachmad Imron menyatakan, kerja sama itu untuk memunculkan identitas dalam gim. Exsport adalah produk di bawah bendera PT. Eigerindo Multi Produk Industri. Keduanya merupakan perusahaan yang berdiri di Bandung, Jawa Barat.
"Di gim DreadOut 2, tas karakter utama bakal memakai merek lokal, jadi bentuknya in-game-sponsorship," kata Imron dalam acara Katadata Forum: Babak Baru Industri Kreatif di Era Digital, Jakarta, Selasa (23/4).
(Baca: Hak Kekayaan Intelektual Jadi Kunci Sukses Industri Kreatif)
Dia menjelaskan, perusahaan video gim harus bisa memperhatikan hak kekayaan intelektual untuk pengembangan kapitalisasi pendapatan lebih besar lagi. Karena itu, konten lokal harus menjadi keunikan yang mampu mendapatkan penghasilan tambahan.
Menurut Imron, dia juga menggali kekayaan budaya di Bandung sebagai latar tempat gim. Contohnya, gim horor itu akan memungkinkan pemain berburu hantu di Jalan Braga yang terkenal di Bandung.
(Baca: Bekraf Minta Kenaikan Anggaran di Tahun 2020)
Gim DreadOut edisi pertama juga telah menggali potensi hantu lokal seperti kuntilanak atau hantu yang berbahasa Sunda. Film DreadOut yang tayang pada awal tahun 2019 juga menggambarkan keunikan yang sama. "Konten lokal itu harus jadi keunikan tersendiri," ujar Imron.
Sebelumnya, investasi pengembangan permainan Dreadout 2 meningkat dibandingkan dengan seri pertamanya. Dreadout 1 menghabiskan sekitar US$ 200.000 atau setara Rp 2,82 miliar (kurs Rp 14.080 per dolar AS).
(Baca: Bekraf Siap Gelontorkan Dana untuk 26 Ruang Kreatif di 2019)
Digital Happiness merilis Dreadout pada 2014. Gim bernuansa horor ini tersedia bagi pengguna Microsoft Windows, OS X, dan Linux. Realisasi penjualannya tercatat sekitar US$ 1 juta.
Kunci Sukses Industri Kreatif
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyatakan bahwa monetisasi hak kekayaan intelektual (HAKI) menjadi kunci kesuksesan industri kreatif. Alasannya, pelaku usaha masih kehilangan potensi ekonomi serta efek pengganda (multiplier effect) dalam pengembangan industri kreatif dari HAKI yang tidak dimonetisasi.
Wakil Kepala Bekraf Ricky Pesik menjelaskan hak paten serta royalti bisa menjadi sumber peningkatan penghasilan. Dia mencontohkan, Pisang Goreng Bu Nanik bisa mendaftarkan resep atau musisi bisa memasang royalti untuk setiap lagu yang diputar di publik.
"Itu sebuah tantangan besar ekonomi kreatif nasional, tugas Bekraf melakukan terobosan kebijakan yang bisa mengkapitalisasi ekonomi sektor kreatif," kata Ricky.
(Baca: Deretan Perempuan di Jajaran Pimpinan Startup Indonesia)
Dia menjelaskan potensi Indonesia mengandalkan ekonomi kreatif sangat besar terutama karena pertumbuhan ekonomi yang baik. Belum lagi populasi penduduk yang mencapai 265 juta orang adalah pasar yang besar. Kemudian, tingkat pendapatan kelas menengah yang naik juga akan mendongkrak konsumsi masyarakat.
Ricky menambahkan, sektor ekonomi kreatif nasional akan menjadi tiga besar penyumbang produk domestik bruto (PDB) nasional terbesar. "Dunia global juga bergerak ke arah sana, perubahan teknologi juga meluaskan cakupan ekonomi kreatif," ujarnya.
(Baca: Putaran Bisnis Esports Rp 9,8 Triliun, Peran Gim Lokal Masih Minim)