Tampil di ajang tahunan Game Connection America (GCA) di San Fransisco, Amerika Serikat merupakan impian para pengembang (developer) gim. Tak hanya ajang memamerkan karya, para pengembang mendapat kesempatan mengikuti pertemuan bisnis dengan perusahaan-perusahaan publisher gim papan atas dunia.
Beberapa penerbit gim kelas wahid kerap hadir di ajang ini, seperti Ubisoft, EA, 505 Games, Tencent dan NetEase. Sebelas pengembang gim asal Indonesia yang mengikuti ajang tersebut pada pertengahan Maret lalu pun mengincar transaksi dengan mereka.
(Baca Edisi Khusus: Impian Industri Kreatif Tanah Air Menapaki Jejak Korea)
“GCA membuka gerbang bagi pelaku industri dalam negeri untuk membangun network dan partnership dengan pelaku industri dunia untuk mempercepat laju pertumbuhan bisnis mereka,” kata Deputi Akses Jaringan dan Permodalan Asosiasi Game Indonesia (AGI), Cipto Adiguno kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.
Pengembang gim asal Bandung, PT Lentera Nusantara yang memproduksi Ghost Parade merasakan manfaat dari mengikuti Game Connection America 2018. Bermula dari pertemuan itu, Lentera berhasil membuat kesepakatan bisnis dengan perusahaan publisher Aksys Game.
COO Lentera Nusantara, Anindyo Wishnu, bertemu business to business dengan publisher Aksys Game pertama kali dalam ajang Game Connection. “Aksys mempunya misi membawa kebudayaan Jepang ke Amerika, dan mereka mau mencoba membawa Indonesia. Kami klop soal itu,” kata Wishnu.
Setelah negosiasi berbulan-bulan, Lentera lantas mendapat bantuan Aksys untuk memperoleh software development kit sehingga Ghost Parade dapat digunakan untuk platform konsol. Pada tahun ini, rencananya Aksys Game akan merilis Ghost Parade di seluruh dunia melalui berbagai platform, seperti di antaranya Nintendo Switch, PlayStation4, dan PC via Steam.
Whisnu mendukung pemerintah, dalam hal ini Badan Ekonomi Kreatif, untuk memfasilitasi pengembangan gim lokal. Selama mengikuti ajang Game Connection Bekraf menanggung biaya sewa lahan, pembuatan booth, dan akomodasi bersama. Biaya perjalanan dan biaya hidup selama di lokasi ditanggung masing-masing peserta.
“Mengadakan event ke luar negeri bisa membuka mata developer, bahwa saingannya bukan hanya tingkat lokal tapi global,” kata Whisnu.
Indonesia Dianggap Produsen Gim Indie
Industri gim merupakan salah satu subsektor ekonomi kreatif yang mendapat prioritas Bekraf. Bersama dengan subsektor film dan musik, gim dianggap berpotensi tumbuh pesat.
Nilai ekonomi industri gim global sangat menggiurkan. Pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan film dan musik. Menurut catatan AGI, nilai industri game global (2018) adalah US$ 134,9 miliar. Sementara industri film box office sekitar US$ 40 miliar dan musik sekitar US$ 19 miliar.
Namun, pertumbuhan industri gim di Indonesia masih tertinggal jauh. Nilai industri gim sekitar US$ 900 juta, atau sekitar Rp 12 triliun. Itu pun didominasi gim asing.
(Baca Edisi Khusus: Sinar Cerah Produk Industri Kreatif di Pasar Global)
Sementara itu, berdasarkan lembaga analisis data asal Belanda, Newzoo, Indonesia menempati posisi ke 17 dari 100 negara dengan jumlah pendapatan terbesar dari industri video game.
Dua peringkat utama diduduki Tiongkok dan Amerika Serikat dengan pendapatan US$ 34,4 miliar dan US$ 31,53 miliar. Sementara pendapatan dari transaksi gim di Indonesia US$ 1 miliar.
Dari jumlah transaksi tersebut hanya sekitar 1 % yang masuk kantong pengembang lokal. “Industri gim kita berada dalam posisi yang kritis: pasarnya besar sekali, tapi mayoritas pengeluaran diserap perusahaan asing,” kata Cipto.
Padahal potensi pasar gim dalam negeri begitu besar, mengingat jumlah pengguna atau pemain gim sekitar 44 juta pada 2017. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah seiring tren pertandingan gim atau esports.
(Baca Edisi Khusus: Industri Kreatif dalam Bidikan Para Pengusung Modal)
Mayoritas pengguna gim ini menggunakan permainan jenis mobile yang banyak dipasok dari luar negeri, terutama Tiongkok. Sementara pengembang lokal masih sedikit yang memproduksi gim mobile.
Besarnya potensi pasar gim berhasil mendorong pertumbuhan signifikan industri gim lokal sejak tiga tahun terakhir. Menurut catatan AGI, setiap tahunnya pertumbuhan pengembang gim lokal di Indonesia naik sekitar 30 %. Berdasarkan database AGI pada 2017, jumlah pengembang lokal terdapat 170 studio gim dan perkiraannya pada 2018 menjadi 210-220.
Meski begitu, perkembangan gim Indonesia masih dianggap dalam tahap ‘bayi’. Bila dibandingkan Vietnamn, misalnya, jumlah pengembang lokal dan investasi yang beredar tertinggal jauh. “Nilai investasi gim dalam negeri kita hanya sekitar 10 % dari Vietnam,” kata Operational Manager Asosiasi Game Indonesia (AGI), Jan Faris Majd.
Jan mengatakan masyarakat gim global menganggap Indonesia hanya sebagai produsen gim indie karena produksinya minim. Masyarakat global hanya melihat Indonesia sebagai negara tujuan dagang gim karena besarnya jumlah pengguna.
Pengembang lokal masih menghadapi tantangan besar apabila ingin merebut potensi pasar gim dalam negeri. Setidaknya terdapat tiga faktor penghambat yakni pemasaran, investasi dan SDM.
Pengembang lokal masih terbatas dalam menggarap pemasaran karena terbatas masalah pendanaan. “Pembuat gim asing memiliki marketing campaign atau dana yang besar sekali, otomatis membuat pengembang lokal belum dapat bersaing dengan mereka,” kata Jan.
Untuk promosi, Bekraf bersama komunitas gim mendirikan Archipelageek yakni kegiatan mempromosikan gim Indonesia di berbagai event, baik yang berskala nasional, regional, maupun internasional.
(Video Edisi Khusus: Musim Semi Industri Kreatif di Indonesia)
Terkait kebutuhan pendanaan, pengembang gim lokal juga bekerja sama dengan Bekraf di antaranya dalam kegiatan Game Prime. Kegiatan ini membuka mata investor bahwa gim Indonesia itu sebenernya layak untuk diperjuangkan. Saat ini investor itu sebenarnya masih takut untuk berinvestasi dalam gim industri. “Jadi, memang nilai investasi untuk gim industri di Indonesia itu masih sangat-sangat kecil,” kata Jan.
Persoalan lainnya mengenai ketersediaan talent atau SDM. Jan mengatakan kualitas SDM lokal sebenarnya bagus tapi jumlahnya sangat terbatas. Sehingga , untuk membuat gim dengan skala besar itu masih belum mampu karena memang ketiadaan sumber daya. “Kami mulai bekerja sama dengan beberapa universitas, berupaya konsultasikan bagaimana kurikulum yang baik untuk mendididk calon-calon game developer yang masih ada di bangku kuliah,” kata Jan.
Gim Lokal Kejar Pasar Global
Di tengah banyak himpitan yang dihadapi pengembang gim lokal, PT Digital Semantika Indonesia atau dikenal Digital Happiness meraih sukses lewat DreadOut. Bahkan, DreadOut yang diproduksi sejak 2014, menjual Intelectual Property dalam bentuk film layar lebar.
Di Indonesia, DreadOut merupakan gim karya anak bangsa yang pertama kali diadaptasi menjadi film di bawah arahan Sutradara Kimo Stamboel yang tayang pada Januari lalu. Di luar negeri, sudah banyak beredar film adaptasi game, di antaranya Tomb Rider, Mortal Kombat dan Final Fantasy.
Jauh sebelum tayang dalam bentuk film, gim ini telah diunduh sebanyak satu juta kali baik berbayar dan gratis. Untuk penjualan komersial, Digital Happiness bekerja sama dengan market place Steam.
Pembeli DreadOut sebagian besar berasal dari Amerika dan Eropa. “Kami menyasar pasar luar negeri karena mengejar penjualan game berbayar,” kata pendiri Digital Happines, Rochmad Imron kepada Katadata.co.id.
Digital Happiness berdiri sejak 2011 oleh beberapa kawan Imron sesama alumni Fakultas Seni Rupa dan Desan Intitut Teknologi Bandung. Awalnya Imron dan kawan-kawan membentuk Iris Desain yang mengerjakan proyek animasi dan tayangan model tiga dimensi pesanan klien.
Saat masih berkecimpung menyelesaikan proyek Iris Desain, salah satu kawan Imron, Vadi Vanadi membuat demo gim horror bernama Jurig Escape. Imron dan Vadi pernah bekerja sama membuat game tribute untuk film the Raid. game pendek perdana berjudul Hallway Raid sebagai penghargaan mereka untuk film aksi Raid.
Meski masih sangat sederhana, demo Jurig Escape mendapat sambutan dari pecinta gim. Imron dkk pun memutuskan menggarapnya lebih serius dan menjadi cikal bakal DreadOut. Pada awal pendanaan Dreadout Imron memutuskan untuk mencari lewat crowfunding sekitar Juni 2013. “Pada masa itu memang lagi tren pendanaan lewat crowfunding,” kata Imron.
Imron memilih crowfunding juga sebagai cara melakukan tes pasar atas produk mereka. Demo Dreadout ternyata menarik minat banyak pemain gim asing terutama dari Amerika dan Eropa. Crowfunding pun memperoleh US$ 29 ribu lewat Indiegogo dari target awal US$ 25 ribu. Jumlah ini memang belum mencukupi kebutuhan modal produksi gim sekitar US$ 200 ribu. Sisa modal dipenuhi dari kocek Iris Desain.
DreadOut kemudian dikembangkan selama 6-8 bulan dalam platform PC dan dirilis pada Mei 2014. Hingga kini, jumlah pengunduh DreadOut dengan sistem berbayar sebanyak 500 ribu. Dengan harga jual gim US$ 14,99 maka hitungan kasar dari pendapatan kotor dari penjualan DreadOut ini sekitar US$ 7,4 juta. Hasil penjualan dibagi ke distributor Steam sekitar 30%.
DreadOut merupakan gim horor dengan tokoh anak SMA bernama Linda. Unsur Indonesia kental dalam gim ini, seperti munculnya hantu-hantu kuntilanak dan pocong. Desain lingkungannya pun mengenalkan unsur Indonesia seperti perabotan rumah dari buatan pengrajin Indonesia.
Imron mengatakan gim merupakan salah satu sarana informasi budaya. Dari berbagai gim yang pernah dia mainkan dia mendapatkan beragam informasi budaya seperti kehidupan bangsa Viking, Ninja dan hal lainnya. “Kami ingin membuat sesuatu untuk memperkenalkan secuil dari bagian kecil Indonesia, salah satunya ya lewat horor karena unik,” kata dia.
Imron dkk memilih menggarap Dreadout dalam platform video game PC (personal computer). Hingga kini, Imron belum tertarik untuk mengembangkan platform mobile. Alasannya, terlalu banyak pesaing para pembuat gim mobile, terutama dari Tiongkok. “Setiap harinya ada 1.000 produk baru gim versi mobile. Kami tak sanggup melawan arus itu,” kata dia.
Inovasi dan kreativitas Digital Happiness tak hanya menghasilkan pundi-pundi uang namun juga pengakuan dari dunia internasional. DreadOut menjadi nominator VR Games terbaik di ajang SXSW Austin Gaming Awards 2017. Digital Happiness juga masuk dalam daftar 20 Rising Global Stars Awards versi Forbes Indonesia 2016, dan finalis Wonder Show Night di Tokyo Game Show Nikkei Jepang 2014.