Industri Kreatif dalam Bidikan Para Pengusung Modal
Sekarang, memesan kopi di kafe bisa dilakukan lewat aplikasi. Warunk Upnormal dan Fore Coffee telah memulainya.
Di Warunk Upnormal, pengunjung cukup duduk lalu memindai kode respons cepat alias Quick Response (QR) di meja makan. Menu yang tersedia akan muncul di aplikasi. Pemesanan dan pembayaran sekaligus dengan Go-Pay. Pesanan otomatis tercatat di counter kasir. Para pengunjung tak perlu beranjak dari kursi sembari menunggu hidangan datang.
Di bawah bendera Citra Rasa Prima (CRP) Group, Upnormal mempunyai 97 gerai di seluruh Indonesia. Aplikasinya diluncurkan pada Oktober 2018 dan memiliki sekitar 30 ribu pengguna. “Sistem pay at table baru kami perkenalkan di dua gerai: Upnormal Indofood Tower di Jakarta dan Dipati Ukur di Bandung,” kata Sarita Sutedja, salah satu pendiri CRP di Jakarta, Rabu (20/3) lalu.
(Baca Edisi Khusus: Impian Industri Kreatif Tanah Air Menapaki Jejak Korea)
Perkembangan Upnormal memang disokong oleh PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Selain menu berbahan nasi, roti, dan pisang, Upnormal menjual lebih dari 20 kreasi Indomie di tiap gerainya. Tidak ada brand mie instan selain Indofood.
Hanya, Sarita enggan merinci detail kerja samanya dengan perusahaan milik Grup Salim itu, termasuk pendanaannya. “Kami tidak bisa memberikan jawaban karena kebijakan perusahaan,” ujar dia.
Berdiri sejak 2013, total gerai kuliner CRP Grup sudah lebih dari 300 unit. Selain Warunk Upnormal, CRP membawahi beberapa brand seperti Bakso Boedjangan, Nasi Goreng Rempah Mafia, Sambal Khas Karmila, Fish Wow Cheese, hingga Juice Kidding. Komposisi kepemilikan berbagai gerai ini adalah 70 % CRP dan 30 % oleh mitra waralaba.
Sementara itu, pengunjung di Fore Coffee tak perlu mendatangi gerainya untuk memesan secangkir kopi. Melalui aplikasi, pengguna cukup memesan kopi dan membayarnya dengan OVO. Untuk memperoleh layanan ini, konsumen memiliki opsi pengambilan kopi di gerai atau diantar dengan jasa ojek online.
Dengan dukungan modal US$ 8,5 juta atau setara Rp 127 miliar dari beberapa angel investor, Fore Coffee yang baru berdiri tahun lalu sudah memiliki 16 gerai di Jakarta. Di antara investor dalam putaran pendanaan awal itu adalah East Ventures, SMDV, Pavilion Capital, Agaeti Venture Capital, dan Insignia Venture Partners.
(Baca Edisi Khusus: Sinar Cerah Produk Industri Kreatif di Pasar Global)
Startup yang didirikan oleh Robin Boe, Jhoni Kusno, dan Elisa Suteja, ini berfokus menghadirkan specialty coffee. “Kami menggunakan berbagai teknologi, mulai dari aplikasi mobile yang kami buat sendiri, serta teknologi yang telah ada, seperti MokaPOS untuk memantau pembayaran, Member.id untuk loyalty platform, serta Go-Food, Grab Food, dan Traveloka Eats sebagai platform distribusi,” ujar Robin Boe, CEO Fore Coffee dalam siaran pers, Kamis (31/1) lalu.
Tak hanya di sektor kuliner, perusahaan-perusahaan modal ventura juga banyak mengucurkan investasi ke startup digital dan film. Dalam Startup Report 2018 yang dirilis DailySocial, nilai pendanaan yang masuk ke startup Indonesia mencapai US$ 5,5 miliar sepanjang tahun lalu. Meski, hampir setengahnya masuk ke kantong unicorn.
Di sektor Film, Ideosource misalnya, telah membiayai beberapa produk sinema, di antaranya Ayat-ayat Cinta 2, Kulari Ke Pantai, serta Aruna & Lidahnya. Tahun ini, Ideosource membidik sejumlah film. “Sudah ada lima film deal dan masih ada beberapa lain,” kata Managing Partner Ideosource Andi S. Boediman kepada Katadata.co.id. “Genre drama masih dominan, ada drama muslim, drama komedi, dan drama remaja.”
Pasar industri film di Indonesia memang cukup menjanjikan. Jumlah penonton, layar bioskop hingga produksi film terus tumbuh dalam beberapa tahun terakhir. (Baca: Ideosource Danai Lima Film Baru Tahun Ini)
Wakil Kepala Bekraf, Ricky Pesik menyatakan, pertumbuhan jumlah penonton di bioskop Indonesia sangat pesat. “Mencapai 230 % dalam lima tahun terakhir,” kata Ricky dalam diskusi mengenai industri kreatif Indonesia dalam rangkaian acara London Book Fair 2019 pada 12-14 Maret 2019.
Pada awal tahun ini, film drama Keluarga Cemara meraih satu juta penonton hanya dalam lima hari tayang. Sementara film Dilan 1991 telah mencapai lebih dari lima juta penonton, meski harus berebut layar dengan film dari Hollywood yang masuk box office global, Captain Marvel.
Dalam industri kreatif, pendanaan pun bisa didapat secara kreatif, misalnya melalui patungan atau crowdfunding. PT Kirai Adiwarna Nusantara misalnya, pada awal 2018 lalu meluncurkan platform patungan Kolase.com.
Salah satu proyek yang berhasil diwujudkan melalui crowdfunding Kolase adalah konser ulang tahun ke-19 grup band Mocca. Dalam kampanye bertajuk Secret Show itu, penggemar Mocca berhasil mengumpulkan dana Rp 50 juta, hingga konsernya digelar pada 25 November 2018 lalu.
Di awal pembentukannya, Kolase.com memperoleh dana US$ 750 ribu atau setara Rp 10,35 miliar dari PT Global Basket Mulia Investama. Dana tersebut digunakan untuk mengedukasi masyarakat atas peran mereka mendukung musisi Indonesia.
Nantinya, masyarakat yang menyumbang pembuatan album atau konser musisi mendapat diskon tiket konser, Compact Disc (CD), ataupun Digital Video Disc (DVD) dari album musisi yang didanai. “Pekerjaan rumah kami adalah mengedukasi masyarakat untuk menghargai karya musik,” kata CEO Kolase.com Raden Maulana.
Gim horor Dreadout juga berhasil dikembangkan berkat crowdfunding. Produser Gim Dreadout Rachmad Imron menyatakan, timnya berhasil menggalang dana patungan US$ 29 ribu atau sekitar Rp 304,5 juta (kurs US$ 1 = Rp 10.500) untuk mengembangkan besutannya pada 2013. Meski, total biaya yang dikeluarkannya saat itu mencapai sekitar US$ 200 ribu atau sekitar Rp 2,1 miliar.
(Baca: Biaya Pengembangan Gim Horor Dreadout 2 Lebih Rp 2,8 Miliar)
Baginya, crowdfunding bukan sekadar strategi untuk mencari modal, melainkan dapat mengukur potensi pasar. Mereka yang memodali pengembangan, sangat mungkin bersedia kembali membayar untuk memainkannya kelak.
Imron menyatakan, Dreadout menghasilkan sekitar US$ 150 ribu atau sekitar Rp 1,72 miliar saat pertama kali dirilis pada Mei 2014 ketika kurs saat itu Rp 11.500 per dolar Amerika. “Jadi crowdfunding itu sekaligus validasi market,” ujarnya.
Langkah Memperbesar Akses Permodalan Industri Kreatif
Toh, tak semua pelaku usaha seberuntung itu. Deputi Akses Permodalan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Fadjar Hutomo menyatakan, akses modal bagi pelaku industri kreatif kebanyakan berasal dari dua lembaga formal, yakni perbankan dan modal ventura.
Sebenarnya, kondisi ini belum ideal, sebab modal di dalam negeri terkonsentrasi di perbankan sebesar Rp 5.000 trilun dan modal ventura Rp 10 triliun. Aturan di dua lembaga keuangan ini, terutama perbankan, cukup ketat dalam menyalurkan kredit.
Sementara itu, pelaku industri kreatif kebanyakan merupakan anak muda yang minim pengalaman. Apalagi mereka pada umumnya tidak memiliki aset seperti tanah atau bangunan yang bisa dijadikan agunan bagi perbankan. Tapi kelompok ini mempunyai “aset lain” yang tak kalah berharga, yakni kekayaan intelektual mereka dalam berkreasi.
Potensi besar ini yang akhirnya mulai dilirik kalangan perbankan. Beberapa lembaga keuangan sedang bergandeng tangan dengan Bekraf. Maybank Indonesia, misalnya, telah menjajagi pembiayaan industri kreatif sejak tahun lalu, dengan Bekraf sebagai fasilitator bagi usaha-usaha kreatif untuk mendapatkan pinjaman.
Cara lain untuk membuka lebar keran permodalan yakni pemerintah menggelar Bekraf Venture di berbagai daerah. Program ini dirancang untuk meningkatkan pengetahuan pelaku usaha dalam menyusun proposal pembiayaan, hingga cara pitching dihadapan investor.
(Video Edisi Khusus: Musim Semi Industri Kreatif di Indonesia)
Menurut Fadjar, program tersebut penting karena hanya sekitar 25 % pengusaha kreatif berhasil mendapat kredit perbankan, dan cuma 1 % yang mengantongi dana modal ventura. Sisanya, mayoritas masih menjalankan usaha dengan modal pribadi.
Upaya tersebut rupanya cukup mencuri perhatian. Bekraf Venture yang digelar di Bandungn pada akhir Februari lalu, misalnya, banjir pengunjung. Sekitar 140 peserta memadati Royal Palm Ballroom di Aston Tropicana Hotel, separuh lebih dari target.
Mita Hapsari, terlihat bersemangat mengikuti acara yang mengusung upaya peningkatan akses fasilitas permodalan non-perbankan ini. “Saya mendapat masukan dan menjadi lebih tahu tentang permodalan,” ujar perempuan 43 tahun dari Cicadas, Bandung ini seperti yang ditayangkan di laman Bekraf.