Jelang debat putaran kedua di Pilpres 2019, Indonesian Corruption Watch (ICW) menyoroti tata kelola impor pangan dan ekspor tambang yang terjadi saat ini. Salah satu yang menjadi perhatian ICW adalah adanya indikasi unreported import atau impor pangan yang tak tercatat selama 12 tahun, yakni sejak era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Joko Widodo (Jokowi).
Peneliti ICW Firdaus Ilyas menyebut indikasi impor yang tidak tercatat terlihat pada empat komoditas pangan, yakni daging, jagung, beras, dan kedelai. Total nilai unreported import keempat komoditas tersebut pada periode 2005-2017 mencapai US$ 1,45 miliar atau setara dengan Rp 20,3 triliun.
"Nilai (unreported import) ini berimplikasi terhadap ketahanan pangan nasional," kata Firdaus dalam pemaparannya, Jumat (15/2).
Angka ini didapatkan dengan mengumpulkan data impor Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Kementerian Perdagangan sejak 2005 hingga 2017. ICW lalu menelusuri angka ekspor dari negara pengimpor pangan dengan menyamakan kode HS (harmonized system) masing-masing komoditas.
Dari penelusuran ICW, terlihat total impor beras Indonesia mencapai 11,5 juta ton sepanjang 2005-2017. Namun, dari data negara pengekspor total beras yang dikirim ke Indonesia mencapai 13 juta ton.
Impor kedelai yang tercatat di dalam negeri sepanjang 12 tahun hanya 22,6 juta ton. Adapun, pencatatan di negara-megara asal menunjukkan ekspor kedelai ke RI mencapai 23,3 juta ton.
Sedangkan impor jagung 2005-2012 yang tercatat pemerintah hanya 21 juta. Akan tetapi, angka ekspor dari negara lain menyebut ekspor akumulatif jagung ke Indonesia 21,5 juta ton.
(Baca: Ombudsman Beri Peringatan Dini Empat Komoditas Impor di Tahun Politik)
Adapun angka impor daging dengan kode HS 0210 yang tercatat di dalam negeri mencapai 1,2 juta ton. Meski demikian, angka HS serupa oleh negara penjual sepanjang 2005-2016 menyentuh angka 1,42 juta ton.
Apabila dikalikan rata-rata harga komoditas dan nilai tukar saat itu, ICW menemukan nilai impor pangan yang tidak terlapor mencapai US$ 1,45 miliar. Sedangkan total selisih volume yang tidak terlapor mencapai 2,74 juta ton. "Ada masalah mendasar dalam pangan," kata Firdaus.
ICW mengatakan, apabila indikasi ini benar adanya maka akan berdampak terhadap ketahanan pangan dan nasib petani selaku produsen. Selain itu, adanya selisih harga dari impor yang tidak tercatat bisa menjadi alasan mengapa banyak pihak yang membidik impor pangan sebagai sarana mencari untung. "Ini mengapa kasus seperti Indoguna menjadi menarik," kata Firdaus.
Bukan hanya itu, ICW juga menyoroti indikasi kerugian negara dari ekspor tiga bahan tambang yakni batu bara, timah, dan nikel ore senilai Rp 144,7 triliun sepanjang 2007-2017. Dari kajian ICW sebelumnya, kerugian lantaran pajak penghasilan maupun royalti penjualan yang tidak maksimal.
"Ini juga lantaran buruknya koordinasi antar instansi pemerintah yang terkait," kata Firdaus merujuk beragamnya data yang digunakan.
(Baca: Indef Minta Impor Pangan Jadi Perhatian Serius pada Debat Kedua)