Insan Film Butuh Kesesuaian Regulasi Daerah dengan Praktik Lapangan

ANTARA FOTO/R Rekotomo
Wisatawan domestik berfoto di lokasi wisata Bukit "Love" Pulau Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah, Rabu (5/4).
Penulis: Dini Hariyanti
21/1/2019, 11.45 WIB

Sineas menginginkan Komisi Film Daerah (KFD) hadir menjembatani berbagai hal terkait produksi film dengan prosedur maupun regulasi pemerintah daerah. Dukungan pemda terhadap pebisnis film kerap sekadar di atas kertas.

Kimo Stamboel, sutradara sekaligus produser, menuturkan bahwa syuting di daerah harus siap berhadapan dengan pungutan-pungutan tertentu. Tak jarang, biaya yang harus dikeluarkan bertolak belakang dengan aturan resmi pemda.

"Kalau bisa, pemda benar menghapus biaya yang keluar di lokasi (syuting), terkait penyewaan atau perizinan. Apalagi kalau lokasinya fasilitas umum. Di Jepang, saya syuting di area publik itu enggak pernah bayar," ucapnya kepada Katadata.co.id, Senin (21/1).

(Baca juga: Prospek Bisnis Film 2019: Saluran Distribusi Digital Kian Mewabah

Pria yang tahun lalu baru menuntaskan produksi film bioskop Dreadout tersebut mengimbuhkan, kepastian antara regulasi dengan praktik di lapangan akan memudahkan proses produksi film. KFD perlu hadir guna menjembatani perihal semacam ini.

"Pemda bisa jamin tidak bahwa (sineas) tak perlu bayar yang tidak perlu, prosedur perizinan harus jelas. Katanya tidak perlu (bayar) ini itu, tetap saja di lapangan ada yang samper kami untuk bayar," ucap Kimo.

Pemerintah memposisikan KFD sebagai jalur pelayanan terpadu satu pintu untuk berbagai kebutuhan teknis pembuatan film. Lembaga ini juga bakal aktif memasarkan potensi suatu wilayah.

Perfilman diarahkan sebagai salah satu katalisator pengembangan ekonomi kreatif daerah. Berbagai tempat lokasi pembuatan film berpeluang merasakan dampak ekonomi terutama usai proses syuting.

Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Fauzan Zidni mengutarakan, keputusan memilih tempat syuting merupakan bentuk pilihan kreatif. Sineas mempertimbangkan sejumlah aspek, seperti keekonomian dan kekuatan historis budaya.

"(Usai proses syuting) daerah itu bisa berkembang jadi banyak hal. Pemda seharusnya bisa jeli melihat peluang-peluang ini. Daerah (dukung) bukan justru menambah alur birokrasi lagi," ujarnya secara terpisah. (Baca juga: Kisaran Biaya Produksi Film Berdasarkan Kanal Penayangan)

Mengutip Buku Pedoman Pembentukan KFD yang dirilis Badan Ekonomi Kreatif, studi Simon Hudson dan J.R. Brent Ritchie pada 2006 mencatat terdapat pengaruh cukup signifikan di antara pembuatan film terhadap peningkatan jumlah wisatawan ke wilayah bekas lokasi syuting.

Pembuatan film Braveheart (Mel Gibson, 1995) di Monumen Wallace, Skotlandia berhasil meningkatkan sekitar 300% jumlah pengunjung dalam setahun pascarilis. Contoh lain, The Lord of The Rings (Trilogy, 2001 - 2003) mendongkrak jumlah pelancong ke Selandia Baru sekitar 10% setiap tahun sejak 2002.

Walaupun studi yang sama belum tersedia di Indonesia tetapi sejumlah fenomena menunjukkan keterkaitan antara lokasi pembuatan film dengan lonjakan kunjungan wisatawan. Sebut saja film 5 CM (Rizal Mantovani, 2012) yang berimbas terhadap lonjakan pengunjung Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dari rerata 2.500 wisatawan per tahun menjadi lebih dari 5.000.