Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin memastikan pasangan calon nomor urut 01 yang mereka usung tetap berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Selama ini, kasus HAM berat belum terselesaikan karena banyak kendala yang di luar kewenangan Presiden.
Wakil Sekretaris TKN Jokowi-Ma'ruf, Raja Juli Antoni, mencontohkan kendala itu salah satunya karena laporan Komnas HAM terkait sembilan kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu tak bisa ditindaklanjuti Kejaksaan Agung. Pasalnya, belum ada pengadilan HAM ad hoc di Indonesia.
Raja juga menyebut DPR belum memiliki komitmen membentuk regulasi sebagai payung hukum untuk pengadilan HAM ad hoc. "Jadi ini masalahnya mandek di DPR," kata Raja di Jakarta, Kamis (17/1).
Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006. Padahal, aturan tersebut menjadi payung hukum yang bisa menginisasi langkah pengungkapan kebenaran kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Dengan begitu, Raja menilai langkah Jokowi untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM cukup kompleks. "Jadi penyelesaian kasus ini cukup pelik," kata Raja.
Meski demikian, Raja mengklaim Jokowi bukanlah orang yang memiliki rekam jejak buruk terkait kasus pelanggaran HAM masa lalu. Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf, Abdul Kadir Karding menambahkan, Presiden sudah kerap kali mendorong agar investigasi terhadap kasus pelanggaran HAM dilakukan.
Salah satunya dengan membentuk tim gabungan terpadu untuk menyelesaikan kasus tersebut. Jokowi juga sudah menemui beberapa korban atau keluarganya untuk mendiskusikan penyelesaian lewat jalur non-yudisial. "Tapi kan teman-teman sebagian besar masih minta diyudisialkan lewat jalur hukum," ujar Karding.
(Baca: Jelang Debat, Yusril Bantu Pendalaman Materi di Tim Jokowi-Ma'ruf)
Inisiator aksi Kamisan, Maria Catarina Sumarsih sebelumnya pesimistis Jokowi bakal mampu menuntaskan kasus pelanggaran HAM jika kembali terpilih pada Pilpres 2019. Pasalnya, selama empat tahun berkuasa saja belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM yang diselesaikan Jokowi.
Jokowi justru memberikan posisi penting kepada orang-orang yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat. Ia mencontohkan pengangkatan Wiranto sebagai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) pada Juli 2016.
Sumarsih menyebut Wiranto turut bertanggung jawab dalam berbagai kasus pelanggaran HAM pada medio 1990-an. Nama Wiranto kerap dikaitkan terlibat dalam peristiwa penyerangan markas PDIP pada 27 Juli 1996 atau Kudatuli, Tragedi Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan aktivis pro-demokrasi tahun 1997-1998, Biak Berdarah, dan kasus Timor Leste.
Jokowi pun sempat mengangkat Sutiyoso menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Sutiyoso diduga ikut bertanggung jawab dalam peristiwa Kudatuli lantaran ketika itu dia menjabat sebagai Pangdam Jaya.
Sumarsih juga mempertanyakan kebijakan Jokowi memberikan posisi penasihat kepada A.M Hendropriyono. Pasalnya, Hendropriyono diduga terlibat dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Dia juga diduga bertanggung jawab atas kasus Talangsari.
Lebih lanjut, Sumarsih mengkritisi pengangkatan Try Sutrisno sebagai Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Sebab, Try diduga ikut bertanggung jawab dalam kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984. "Jokowi ini pelindung para pelanggar HAM berat," kata Sumarsih.
(Baca: Jokowi dan Prabowo Antisipasi Pertanyaan soal Kejahatan HAM Masa Lalu)