Debat Pilpres 2019 dinilai tak akan berdampak signifikan bagi kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam meraih elektabilitas. Pasalnya, masing-masing pasangan calon saat ini sudah memiliki pemilih yang loyal.
Jumlah pemilih loyal di antara kedua paslon pun cukup besar. Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo mengatakan, sekitar 70% dari total pemilih merupakan pemilih loyal.
Para pemilih loyal ini tak akan mampu diubah pilihannya hanya karena menyaksikan debat. Sebab, dukungan yang mereka berikan didasari fanatisme politik.
Mereka mendukung berdasarkan aspek emosional ketimbang rasional. "Debat tidak akan banyak mengubah posisi pemilu loyal, apalagi yang digerakkan fanatisme politik," kata Ari di Jakarta, Selasa (15/1).
Menurut Ari, orang-orang yang dihinggapi fanatisme politik cenderung sulit mendengarkan ide atau opini yang bertentangan. Kondisi ini diperparah dengan maraknya kabar bohong (hoaks).
Kabar bohong yang ada semakin meneguhkan keyakinan mereka. Beberapa pendukung bahkan menggunakan hoaks ini untuk mendegradasi lawan politik. "Ini yang berbahaya. Pilihan politik menjadi sangat emosional, sensasional, bukan rasional," kata Ari.
(Baca: Kontroversi Visi Misi dan Debat Capres yang Menyudutkan KPU)
Meyakinkan Pemilih Mengambang
Sebenarnya, masih ada sekitar 30% pemilih lagi yang mampu diyakinkan melalui debat. Mereka merupakan para pemilih mengambang (swing voters) dan yang belum menentukan pilihan (undecided voters).
Direktur Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan, upaya meyakinkan para swing voters dan undecided voters bakal berhasil jika debat berisikan narasi yang substantif dan argumentatif dari kedua paslon. Hanya saja, ia khawatir kondisi tersebut tidak akan terjadi.
Karyono curiga debat justru bakal dijadikan ajang saling menyerang dan menjatuhkan antarkedua paslon. "Justru membuat debat tidak menarik," kata Karyono.
Kondisi ini diperparah dengan pemberian kisi-kisi pertanyaan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada para paslon. Menurutnya, hal ini akan membuat animo masyarakat untuk menyaksikan debat menurun.
Dengan demikian, peluang para paslon untuk meyakinkan swing voters dan undecided voters semakin berkurang. "Padahal dalam beberapa tahun terakhir tren orang menyaksikan debat itu semakin meningkat," kata Karyono.
Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto juga tak meyakini debat mampu menggaet swing voters dan undecided voters. Sebab, mereka tak hanya mempertimbangkan narasi yang disajikan para paslon ketika debat.
Menurut Arif, swing voters dan undecided voters juga akan mempertimbangkan narasi yang disampaikan para paslon ketika berkampanye. Selama ini, pola kampanye dari para paslon lebih didominasi saling sindir dan gimik, ketimbang substansi. "Saya tidak terlalu yakin bahwa pemilih yang lebih rasional akan teryakinkan," kata Arif.
Karenanya, Arif menyarankan agar kedua paslon dapat mengubah model kampanye mereka secara radikal. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penguatan karakter dari kedua paslon.
Lebih lanjut, mereka juga harus menguatkan gagasan yang ditawarkan selama kampanye. Dengan demikian, mereka akan mampu meyakinkan swing voters dan undecided voters.
(Baca: Fenomena Nurhadi-Aldo dan Potensi Meningkatnya Golput di Pilpres 2019)