Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan persetujuan proposal pengembangan (PoD) proyek ultra laut dalam atau Indonesia Deepwater Development (IDD) hingga kini belum tuntas. Ada sejumlah hal belum selesai dibahas. Salah satunya mengenai perpanjangan Blok Ganal dan Rapak, bagian penting dari pengembangan proyek IDD.
Karenanya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto berharap finalisasi PoD tersebut dapat segera selesai. “Iya, yang dibahas pasti itu, mudah-mudahan final yang IDD,” kata Dwi di Jakarta, Rabu (2/1). Namun dia belum bisa memerinci mengenai hal tersebut. Yang pasti, kontrak Blok Rapak berakhir pada 2027 dan Blok Ganal tahun 2028.
(Baca: Blok Masela dan IDD Jadi Fokus Utama Dwi Soetjipto Pimpin SKK Migas)
Hal ini pun diungkapkan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar bahwa pembahasan PoD proyek IDD berkaitan dengan kedua blok tadi. Dengan berakhirnya kontrak dua lapangan migas itu 10 tahun mendatang, perpanjangan kontrak perlu agar keekonomian proyek IDD bisa terjaga.
Pada pengembangan IDD kali ini, skenarionya berbeda karena Blok Makassar Strait sudah dikeluarkan dari bagian proyek IDD. Arcandra menginginkan perpanjangan kontrak Blok Rapak dan Ganal bisa menggunakan bagi hasil dengan skema gross split setelah kontraknya berakhir. Namun hal itu belum bisa diputuskan. “Yang kontrak eksisting kan dengan cost recovery. Ke depan, pemerintah prefer gross split,” kata Arcandra.
Sebagaimana diketahui, Chevron yang memegang proyek IDD sebenarnya sudah mendapatkan persetujuan pengembangan proyek pada 2008. Dalam proposal pengembangan atau plan of development (PoD) nilai investasinya sekitar US$ 6,9 hingga 7 miliar.
(Baca: Blok Makassar Strait dan Selat Panjang Dilelang Ulang Tahun Ini)
Namun, proposal itu direvisi karena harga minyak naik. Perusahaan asal Amerika Serikat itu kemudian mengajukan angka US$ 12 miliar pada 2013. Sayangnya proposal itu belum disetujui pemerintah.
Akhir 2015, Chevron kembali mengajukan revisi dengan nilai investasi US$ 9 miliar. Dalam menentukan investasi kali itu dengan asumsi ada insentif investment credit di atas 100 %. Proposal itu pun kembali ditolak Kementerian ESDM.
Sekitar Juni 2018, Chevron mengajukan proposal lagi. Namun, angka itu berubah dari yang dijanjikan sekitar US$ 6 miliar.