Wacana kerinduan terhadap Orde Baru (Orba) yang tengah berkembang di masyarakat dinilai tidak tepat dan ahistoris. Pasalnya, rezim yang dipimpin Presiden Soeharto selama 32 tahun itu sarat dengan kekerasan dan pembatasan hak asasi manusia (HAM).
Imparsial menyebut kekerasan menjadi metode politik oleh penguasa kala itu untuk terus melanggengkan kekuasaan. "Demi mempertahankan kekuasaannya yang otoritarian, rezim Orde Baru menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan," kata Direktur Imparsial Al-Araf di kantornya, Jakarta, Senin (10/12).
Araf mengatakan, selama Orde Baru kebebasan menjadi barang mahal. Pasalnya, pemerintah ketika itu membatasi dan mengontrol secara represif kebebasan warga negara yang bersifat fundamental.
Kritik warga negara selama Orde Baru dinilai sebagai sebuah ancaman. Karenanya, kerap terjadi penangkapan sewenang-wenang, penculikan, hingga pembunuhan pada Orde Baru.
(Baca: Komnas HAM Beri Jokowi Nilai Merah dalam Penuntasan Kasus HAM Berat)
Para aktivis yang kritis terhadap kekuasaan pun selama Orde Baru disematkan stigma komunis dan pengganggu stabilitas keamanan. Alhasil, berbagai peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM banyak terjadi, seperti kasus Kedung Ombo, Tragedi Trisakti, dan Tragedi Mei 1998. "Padahal dalih kepentingan keamanan itu merupakan tameng rezim untuk mempertahankan kekuasaan yang korup dan bobrok," kata Araf.
Kekhawatiran Orde Baru atas kekuatan Islam juga menghasilkan kontrol ketat kepada kelompok-kelompok Islam. Ini dapat dilihat dari kebijakan pemaksaan atas azas tunggal Pancasila.
Lebih lanjut, hal tersebut dapat dilihat dari kekerasan kepada kelompok Islam, seperti di Tanjung Priok dan Talangsari, Lampung. "Bahkan rezim juga tidak segan untuk menetapkan status Daerah Operasi Militer (DOM) di wilayah-wilayah konflik seperti Papua dan Aceh yang praktiknya mengakibatkan terjadinya berbagai kasus pelanggaran HAM," ucap Araf.
(Baca: Pemerintah Akan Bentuk Tim Gabungan Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu)