Empat Tahun Jokowi, Menteri Siti Nurbaya: Laju Deforestasi Terus Turun

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Foto udara menara termal (kanan) milik APP-Sinar Mas yang berada di Kec Padang Sugihan, OKI, Sumatera Selatan, Kamis (9/3). Untuk mendeteksi sejak dini kebakaran hutan dan lahan APP-Sinar Mas memasang dua buah kamera termal di distrik Simpang Tiga dan Kecamatan Padang Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel,. Dengan jarak pantau sepanjang 10km dan mampu memutar 360 derajat secara otomatis dan dalam setiap lima menit akan naik turun untuk melihat titik api yang ada di kawasan tersebut.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
26/10/2018, 05.30 WIB

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengklaim laju deforestasi di Indonesia terus menurun selama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pada kurun waktu 2014-2015, angka penebangan hutan 1,09 juta hektare. Rinciannya, 820 ribu hektare deforestasi berada di area hutan, sementara 280 ribu berada di area non-hutan.

Angka deforestasi tersebut menurun pada kurun 2015-2016 menjadi 630 ribu hektare dengan rincian 430 ribu hektar di area hutan dan 200 ribu di area non-hutan. Pada 2016-2017, penebangan huta makin menyusut ke 480 ribu hektare: 310 ribu hektare di area hutan dan 170 ribu di area non-hutan.

(Baca juga: Anggaran Kementerian LHK Besar, Jokowi: Cuma Jadi 2 Hutan Baru)

“Ini menjadi sangat penting karena internasional selalu address kepada dunia bahwa Indonesia tidak beres soal menangani hutan. Kami tangani dengan baik selama Presiden Jokowi ini,” kata Siti di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis (25/10).

Menurut dia, menurunnya laju deforestasi dapat membantah tuduhan pengrusakan hutan yang selama ini dialamatkan kepada industri sawit nasional. Sektor perkebunan ini tak bisa selalu disalahkan dan dikaitkan dengan deforestasi.

Selain itu, berkurangnya angka deforestasi ini penting untuk meningkatkan ekspor kayu dari Indonesia dari segi legalitas. Terlebih dengan adanya sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Sebab, penerapan SLVK mampu mengekspor kayu ke negara-negara Eropa. Bahkan, kayu Indonesia dapat langsung diterima tanpa melalui proses due diligence.

Beberapa negara lain pun sudah mempelajari sistem legalitas kayu yang dimiliki oleh Indonesia ini. “Sekarang dipelajari oleh Cina, Jepang, Australia, Ghana, Myanmar,” kata Siti. 

Tak hanya deforestasi, Siti juga menyebutkan kebakaran hutan dan lahan saat ini telah berkurang drastis. Pada 2015, luasa kebakaran hutan dan lahan mencapai 2,6 juta hektare. Tahun berikutnya berkurang drastis menjadi 438.363 hektare. Lalu pada 2017, kebakaran hutan dan lahan hanya 165.484 hektare. Namun pada tahun ini angkanya naik lagi menjadi 194.757 hektare.

Ada pun jumlah titik panas atau hotspot pada 2015 mencapai 70.791 titik. Angka ini berkurang drastis pada 2016 menjadi hanya sebesar 3.884 titik. Kemudian pada 2017, titik panas mencapai 2.440 titik, sementara angka tersebut kembali naik tahun ini menjadi 8.163.

“Luas areal kebakaran hutan dan lahan menurun 92,5 persen, sedangkan jumlah titik panas menurun 88,5 persen,” kata Siti. (Baca: Pemerintah Targetkan Titik Api Kebakaran Hutan Turun 97 Persen).

Terkait kabut dampak kebakaran hutan dan lahan yang sempat menerpa Singapura pada 2015 selama 28 hari, angka itu menurun pada 2016 hingga hanya dua hari. Pada 2017, kabut akibat kebakaran hutan itu tak lagi menerpa Singapura.

Hingga Oktober 2018 ini, Siti menilai tak ada masalah kabut dari kebakaran hutan dan lahan yang mengganggu negara tetangga. “Mudah-mudahan tidak ada kabut karena sudah mulai hujan,” ujar Siti.