Dibantu Aparat Singapura, KPK Panggil Lagi Sjamsul Nursalim dan Istri

ANTARA FOTO/Makna Zaezar
Juru bicara KPK Febri Diansyah
Penulis: Dimas Jarot Bayu
22/10/2018, 17.55 WIB

Komisi Pemberantasan Korupsi kembali mengagendakan pemeriksaan terhadap pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih S Nursalim pada hari ini dan besok, Selasa (23/10). Keduanya bakal diperiksa sebagai saksi untuk perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan surat panggilan untuk keduanya telah disampaikan ke kediamannya. Surat serupa juga dilayangkan ke kantor Sjamsul di Singapura dan Indonesia. “Untuk surat ke kantor di Indonesia, disampaikan ke kantor Gadjah Tunggal di Hayam Wuruk,” kata Febri dalam keterangan tertulisnya, Senin (22/10).

Menurut Febri, KPK telah berkoordinasi dengan otoritas di Singapura untuk mengantarkan surat tersebut. Bahkan, otoritas Singapura ikut mengantarkannya. Untuk itu, KPK meminta keduanya memenuhi panggilan. (Baca juga: Pihak Sjamsul Nursalim Curiga Kasus BLBI Selalu Diungkit Jelang Pemilu)

Permintaan keterangan ini sekaligus memberi ruang Sjamsul dan Itjih menyampaikan klarifikasi. “Dengan demikian, ini merupakan jadwal kedua di penyelidikan yang telah kami buka untuk Sjamsul Nursalim dan istri,” kata Febri.

Dalam vonis terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, Sjamsul, Itjih, dan mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan Dorodjatun Kuntjoro Jakti disebut terlibat dalam korupsi BLBI. Keempatnya dinilai terbukti bersama-sama melakukan korupsi hingga merugikan negara sebesar Rp 4,58 triliun.

Mereka disebut turut menghilangkan hak tagih negara kepada Sjamsul. Caranya, dengan menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. (Baca pula: Alasan Jaksa KPK Seret Dorodjatun dalam Kasus Dugaan Korupsi BLBI)

Hal tersebut dilakukan melalui penerbitan Surat Keterangan Lunas Nomor SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) kepada Sjamsul Nursalim pada 26 April 2004. “Walaupun Sjamsul belum menyelesaikan kewajibannya terkait misrepresentasi utamg petambak,” kata hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Diah Siti Basariah.

Sebelumnya, kuasa hukum Sjamsul, Otto Hasibuan mengatakan kliennya enggan hadir dalam pemeriksaan karena tak ada jaminan perlindungan hukum dari pemerintah. Ini terkait klaimnya telah melunasi kewajiban mengembalikan utang BDNI dalam BLBI sebesar Rp 4,8 triliun.

Pelunasan ini melalui skema Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) pada 1998. Melalui skema tersebut, utang petani tambak udang di Lampung sebesar Rp 1,1 triliun telah diperhitungkan ke dalam aset BDNI. (Baca: Eks Kepala BPPN: Satu Detik Pun Dihukum, Saya Akan Banding).

Kemudian, utang tersebut dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Hal ini ditunjukkan dengan diterimanya surat pembebasan dan pelepasan alias release and discharge yang ditandatangani Ketua BPPN Syafruddin Arsjad Temenggung dan Menteri Keuangan pada Mei 1999.

Ada pun sisa utang BDNI sebesar Rp 3,7 triliun dihapuskan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada 2004. Selanjutnya, dengan persetujuan Komite Kebijakan Sektor Keuangan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara pada 2004, BPPN mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL).

Otto mengatakan setelah menyelesaikan utang BLBI, Sjamsul berhak mendapat perlindungan hukum. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, Ketetapan (TAP) MPR Nomor X/MPR/2001, TAP MPR Nomor VI/MPR/2002, serta Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002.

Selain itu, Otto menilai kliennya masih berstatus sebagai saksi dan hingga kini KPK tak pernah menetapkan Sjamsul sebagai tersangka atau masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). Dengan begitu, kliennya dianggap sah bepergian ke mana saja. Saat ini Sjamsul menetap di Singapura dan KPK mengetahui kediamannya.