Belajar dari Meikarta, Konsumen Perlu Teliti Ini Sebelum Beli Properti

Arief Kamaludin|KATADATA
Proses pembangunan hunian Meikarta, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jabar, Senin, (18/09/2017)
Editor: Yuliawati
20/10/2018, 11.00 WIB

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar suap antara Grup Lippo dan pemerintah kabupaten Bekasi dalam proses pengurusan izin megaproyek Meikarta di Cikarang, Bekasi. Sejak awal tahun lalu, megaproyek Meikarta telah mendapat sorotan karena menjalani pemasaran dan menjual properti meski perizinan belum beres.

Ketika itu, Ombudsman RI dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sudah memperingatkan Grup Lippo untuk tak mempromosikan Meikarta. Namun, peringatan ini tak digubris. Konsumen pun banyak yang terkecoh membeli unit di Meikarta yang saat itu belum mendapat izin.

(Baca juga: Nasib Konsumen Meikarta Terombang-Ambing Kasus Suap di KPK)

Head of Research and Consultancy Savills Indonesia Anton Sitorus, mengatakan konsumen harus berhati-hati dan teliti sebelum membeli properti dari pengembang. Perizinan yang bermasalah akan merugikan konsumen.

"Konsumen kadang ikut-ikutan, sehingga mungkin tidak cek terlebih dahulu," kata Anton kepada Katadata.co.id, Jumat (19/10).

Anton mengatakan salah satu hal penting sebelum membeli properti mengecek track record atau jejak rekam pengembang. "Usahakan untuk mempercayakan atau memilih pengembang yang sudah berpengalaman," kata dia.

Anton menyarankan konsumen tidak membeli rumah dalam bentuk gambar atau pre-project selling. "Untuk pengembang baru, setidaknya tahap pembangunan sekurang-kurangnya 50% atau sudah siap huni," kata Anton.

Pemerintah mengatur persyaratan penjualan properti apartemen atau rumah susun lewat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Aturan tersebut mengatur mengenai persyaratan pengembang properti membangun apartemen, persyaratan pemasaran hingga kesepakatan perjanjian jual beli.

(Baca juga: Sebelum OTT KPK, Pemkab Bekasi Terbitkan IMB untuk 24 Tower Meikarta)

Berikut ini ringkasan aturan tersebut yang dapat menjadi pedoman bagi konsumen sebelum memutuskan membeli sebuah apartemen:

1. Sesuai rencana tata ruang wilayah

Pengembang harus membangun properti yang mengikuti perencanaan tata ruang di wilayah bersangkutan. Rencana tata ruang wilayah ini melibatkan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan harus mendapat persetujuan DPRD.

Dalam kasus Meikarta, karena Grup Lippo hendak membangun megaproyek skala besar dengan rencana membangun di atas lahan 500 hektar, maka melibatkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Ternyata, pemerintah provinsi Jawa Barat menganggap rencana tersebut tak sesuai dengan tata ruang, sehingga pada akhir 2017 hanya memberikan rekomendasi pembangunan di atas lahan 84,6 hektare.

2. Status lahan

Pengembang dapat memanfaakan lahan hak milik, atau juga hak guna bangunan atas tanah negara, maupun hak pakai, maupun sewa. Bila sewa, pengembang wajib membuat perjanjian yang jelas mengenai hak dan kewajiban penyewa dan pemilik tanah, jangka waktu sewa, dan kepastian pemilik tanah mendapat pengembaliannya.

3. Persyaratan pembangunan proyek

Pengembang wajib meminta izin dalam proses pembangunan dengan memenuhi syarat administratif, teknis dan ekologis saat memulai proses pembangunan.

Permohonan izin pembangunan ditujukan kepada pimpinan kepala daerah diantaranya dengan melengkapi: sertifikat hak atas tanah, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), surat keterangan rencana kabupaten/kota, gambar rencana tapak, gambar rencana arsitektur, gambar rencana struktur.

Anton meminta konsumen mengecek perizinan dan lahan. "Apakah lahan memang ada? Izinnya ada tidak? Benarkah itu pengusaha yang sudah mendapat izin untuk membangun rumah? Jangan-jangan perusahaannya punya izin di bidang lain," katanya.

4. Analisis Dampak Lingkungan

Pengembang wajib melengkapi persyaratan Amdal dan mengajukan kepada pemerintah daerah. Sehingga konsumen perlu mengetahui kelengkapan Amdal properti. 

5. Sertifikat Laik Fungsi

Pengembang wajib melengkapi sertifikat laik fungsi kepada pemerintah daerah/kota

6. Pemasaran

Pemasaran dapat dilakukan sebelum pembangunan, dengan syarat pengembang memiliki:
a. kepastian peruntukan ruang;
b. kepastian hak atas tanah;
c. kepastian status penguasaan rumah susun;
d. perizinan pembangunan rumah susun seperti IMB, Amdal dan lainnya, 
e. jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin.

Bila pengembang tak memenuhi persyaratan tersebut, jangan melakukan pembayaran apapun. 

7. Pahami perjanjian pengikatan jual beli (PPJB)

Fungsi PPJB mengatur segala macam poin dan klausul, termasuk apabila terjadi kendala seperti kasus Meikarta saat ini. Anda disarankan untuk tidak terburu-buru ketika akan menandatangani kontrak pemesanan sebelum memahami draft PPJB. Hak dan kewajiban pengembang dan konsumen harus seimbang dalam PPJB. 

Sebelum membuat PPJB, pengembang harus memenuhi syarat, seperti  status kepemilikan tanah, IMB, ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;  pembangunan paling sedikit 20% dari rencana.

8. Proses jual beli dan serah terima

PPJB akan menjadi Akta Jual Beli (AJB) apabila serah terima hunian telah dilakukan. "Lihat tanggal penyerahan sesuai perjanjian tidak," kata Anton.

Konsumen sebaiknya jangan terburu-buru untuk menandatangani berita acara serah terima. Jika berita acara serah terima sudah ditandatangani dan ternyata tidak sesuai dengan PPJB, maka hal ini akan menyulitkan konsumen.

Pembangunan apartemen dinyatakan selesai dengan diterbitkan Sertifikat Laik Fungsi; dan Sertifikat Hak Milik.