Pagi ini, Sandiaga Uno akan sarapan di Pondok Pesantren Miftahul Huda. Usai makan pagi, sekitar pukul 07.30, calon wakil presiden pasangan Prabowo Subianto itu dijadwalkan silaturahim dengan Persatuan Alumni 212, juga di lembaga pendidikan Islam di Desa Bayasari, Kecamatan Jatinagara, Jawa Barat itu.
Sandi memang cukup akrab dengan kelompok ini, motor yang menggerakkan ratusan ribu kaum muslim berbondong-bondong ke Jakarta pada 2016-2017 untuk menuntut Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dituding melakukan penistaan agama. Saat itu, momennya pas dengan masa persiapan pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta.
(Baca: Gerilya Politik Sandiaga Uno dan Strategi Kampanye Prabowo)
Kunjungan Sandi tersebut bagian dari road show-nya dalam dua pekan terakhir. Setelah resmi masuk kampanye Pilpres 2019 sejak 23 September 2018, intensitasnya terjun ke masyarakat begitu tinggi. Dan dalam setiap lawatan, dia memang tak pernah melewatkan menyinggahi pondok pesantren.
Pesantren memang menjadi magnet tersendiri bagi mereka yang hendak bertarung dalam kontestasi politik, baik pemilu legislatif atau pilpres. Dari sisi jumlah lembaga, angkanya cukup menggiurkan untuk dijadikan incaran lumbung suara.
Berdasarkan data Kementrian Agama, hingga akhir tahun lalu, setidaknya ada 25.938 pesantren yang tercatat di Pangkalan Data Pondok Pesantren. Santri di sana mencapai 3.962.700 orang. Walau tidak semuanya telah memiliki hak pilih, namun angka tersebut tak bisa diabaikan. Apalagi relasi pesantren tak sebatas lembaga dengan para santrinya, juga dengan para wali santri mereka.
Tak heran bila kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam beberapa waktu terakhir kerap berkunjung ke lembaga keislaman ini. Jokowi, misalnya, tercatat dua kali mengunjungi pesantren selama masa kampanye saat ini. Pada 8 Oktober 2018, dia ke Pesantren Mawaridussalam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dengan agenda peresmian Bank Wakaf Mikro.
Dua hari setelahnya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu mendatangi Pondok Pesantren Minhajurrosyidin di Pondok Gede, Jakarta Timur. Jokowi diketahui datang ke untuk meresmikan pembukaan Rapat Kerja Nasional Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) 2018.
(Baca: Yenny Wahid Berlabuh Dukung Jokowi-Ma'ruf Amin)
Ma'ruf, sebagai tokoh Nahdlatul Ulama dan dedengkot ulama Indonesia, lebih intensif berkunjung ke pondok pesantren. Dia diketahui telah datang ke delapan pondok pesantren selama kepergiannya ke Jawa Timur pada 27-29 September 2018.
Delapan pondok pesantren itu antara lain As-Shiddiqi, Nurul Islam, Al-Qodiri, dan Assuniyah di Jember. Kemudian, Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong dan Nurul Jadid Paiton di Probolinggo, Sidogiri di Pasuruan, serta Bumi Sholawat di Sidoarjo.
Pada 3 Oktober 2018, Ma'ruf diketahui mendatangi Pondok Pesantren Al Muhajirin di Purwakarta, Jawa Barat. Keesokan harinya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) non-aktif itu bertolak ke Pondok Pesantren Salafi Riyadul Alfiyah di Pandeglang, Banten.
Sementara itu, Prabowo berkunjung ke Pondok Pesantren Attauhidiyah di Tegal, Jawa Tengah pada 30 September 2018. Dia kembali mendatangi Pondok Pesantren As-Syafi'iyah Pulo Air di Sukabum, Jawa Barat. Teranyar, mantan Danjen Kopassus itu pada Kamis (11/10), mendatangi Pondok Pesantren Minhajurrosyidin untuk menjadi pembicara dalam Rakernas LDII 2018.
Sebagai pasangannya, jam terbang Sandiaga jauh lebih tinggi. Dia melakukan kunjungan maraton ke pondok pesantren ketika bertolak ke Jawa Timur pada 6 Oktober 2018. Mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ini tercatat mengunjungi Pondok Pesantren Sidogiri di Pasuruan, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton di Probolinggo.
(Baca: Jalan Terjal Prabowo-Sandiaga Meraih Suara Kalangan Nahdiyin)
Kemudian, Pondok Pesantren Rhoudatul Ulum dan Al-Ishlah di Bondowoso serta Pondok Pesantren Al-Qodiri di Jember. Pada 10 Oktober 2018, Sandiaga diketahui mengunjungi Pesantren Ar Ribath Annabawiyah Habib Ahmad Al Idrus di Indramayu, Jawa Barat.
Sebenarnya, kunjungan para kandidat tersebut ke pesantren tak lepas dari tujuan mereka meningkatkan elektabilitas dalam Pilpres 2019. Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai pesantren merupakan ceruk suara yang potensial dalam Pilpres 2019. Jumlah kiai dan santri di sana cukup besar. “Mereka memiliki hak pemilih yang begitu banyak,” kata Ujang ketika dihubungi Katadata.coid.
Tak hanya itu, para kandidat tentu melihat potensi elektoral dari jaringan alumni pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia. Ujang mengatakan, alumni pesantren memiliki ikatan emosional yang lebih kuat jika dibandingkan jenis lembaga pendidikan lainnya. Sebab, mereka dididik bersama-sama melalui sistem asrama dalam waktu yang cukup lama. “Pesantren tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Ini basis massa riil dalam politik,” kata Ujang
Sementara itu, Direktur Eksekutif Populi Center Usep S Ahyar menilai gerilya politik para kandidat ke pesantren juga untuk melekatkan citra religius. Pesantren kerap dijadikan simbol dari masyarakat Islam tradisional yang berada di Indonesia.
Dengan demikian, para kandidat dapat mensosokkan diri dekat dengan kelompok muslim yang menjadi mayoritas di Indonesia. Lebih lanjut, mereka bisa menepis isu sentimen agama yang dimainkan oleh lawan politik masing-masing. “Didekati untuk menyatakan bahwa kita tidak anti terhadap ulama, terhadap santri,” kata Usep.
Usep pun menilai kunjungan para kandidat ke pesantren beberapa waktu ke belakang tak lepas dengan adanya pertimbangan momentum. Sebab, Hari Santri Nasional akan segera dirayakan pada 22 Oktober 2018. Jika momentum terlewat, dikhawatirkan para kandidat akan kesulitan menggarap suara muslim lebih besar.
Sebenarnya, langkah para kandidat mengunjungi pondok pesantren ini rawan melanggar aturan Pemilu sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Pasal 280 ayat (1) huruf h aturan tersebut menyatakan jika fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan lembaga pendidikan seperti sekolah dan pesantren tidak boleh jadi tempat kampanye.
Hanya saja, Bawaslu hingga kini belum mampu memproses dugaan pelanggaran tersebut. Sebab, Bawaslu belum menemukan aktivitas kampanye sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018.
Dalam aturan tersebut, kampanye diartikan sebagai aktivitas meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri. Sementara, para kandidat kerap berdalih kedatangannya ke pesantren merupakan kunjungan biasa atau diundang dalam kegiatan non-politik.
Meski demikian, Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar tetap mengimbau para kandidat menghindari kunjungan ke pesantren selama masa kampanye untuk menghindari terjerat pelanggaran. Selain itu, untuk menghindari perspektif negatif dari masyarakat ketika para kandidat mengunjungi pesantren. “Saya berharap semua paslon menghormati rambu-rambu yang sudah diberikan,” di kantornya, Jakarta, Kamis (11/10).