Kendati telah selesai dibangun sejak 30 tahun lalu, pada era Presiden Soeharto, proyek Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah hingga kini masih menyisakan masalah. Proyek di atas tanah seluas 59.340 hektare tersebut tercatat masih mewariskan kemiskinan bagi para korban terdampaknya.
Hasil riset Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bersama Katadata mencatatkan 98 persen korban terdampak pembangunan Waduk Kedung Ombo hingga saat ini tidak memiliki tabungan. Di dunia digital saat ini, separuh lebih dari jumlah itu tidak memiliki telepon seluler. Bahkan, hampir semuanya, sebanyak 98 persen dari mereka, tidak memiliki televisi.
Dari sisi pendidikan, 83 persen kepala keluarga korban terdampak hanya lulusan Sekolah Dasar. Berkorelasi dengan itu, 91 persen penduduk itu tidak mempunyai pekerjaan tetap. Dalam hal tempat tinggal, seperuh lebih menilai rumah keluarganya tidak layak huni.
Sementara itu, 76 persen mengatakan tidak lagi memiliki lahan pertanian. Padahal, hampir 87 persen warga di sana dulunya bekerja sebagai petani. “Sampai 30 tahun setelah pembangunan di Waduk Kedung Ombo, mereka warga terdampak, kehidupannya tidak jauh lebih baik, bahkan lebih memprihatinkan,” kata Head of Research Katadata Padjar Iswara di Jakarta, Jumat (10/5).
Lebih lanjut, warga yang lahannya terkena dampak dan tergusur alias resettled ke daerah sekitar Waduk Kedung Ombo mengaku aset tanah, lahan pertanian, dan perkebunannya kian berkurang. Kepemilikan tanah mereka berkurang dari 78 persen menjadi 54 persen. Lahan pertanian mereka menurun dari 74 persen menjadi 30 persen. Sementara kepemilikan lahan perkebunan menurun dari 38 persen menjadi 14 persen.
Di belahan wilayah lainnya, warga transmigran akibat proyek Waduk Kedung Ombo mengeluhkan fasilitas umum yang mereka dapatkan tidak sesuai harapan. Padjar memaparkan 71 persen dari mereka kecewa tidak adanya fasilitas kesehatan pemerintah. Apalagi, biaya kesehatan dinilai tidak terjangkau. Begitu pula dengan fasilitas pendidikan yang tidak lengkap, tidak bermutu, dan biaya pendidikan tinggi.
Lebih dari 90 persen warga transmigran menilai kekurangan di kondisi jalan atau infrastruktur, lampu penerangan jalan, sarana transportasi, dan pasar. “Setelah pindah, fasilitas umum warga transmigran tidak lebih baik dibandingkan sebelumnya,” kata Padjar.
Sementara itu, Chief Content Officer Katadata Heri Susanto menuturkan penyebab kemiskinan terstruktural dari para korban pembangunan Waduk Kedung Ombo hingga saat ini salah satunya karena hilang atau berkurangnya lahan pertanian. Ketiadaan lahan pertanian membuat mereka kehilangan mata pencaharian sebagai petani.
Meski ada alternatif pekerjaan sebagai nelayan tambak, pemerintah dianggap minim memberikan penyuluhan dan pelatihan. Pemerintah pun dinilai tidak memberikan dukungan dana. Padahal, nelayan tambak memerlukan modal besar untuk membangun keramba maupun merawat perahu. “Peralatan juga mahal, tapi tidak ada dukungan modal dari pemerintah,” kata Heri.
Penyebab lainnya yakni minimnya sarana dan prasarana penunjang. Ini ditambah akses dari dan menuju lokasi korban terdampak yang cukup jauh dengan pusat keramaian terdekat. Penyebab kemiskinan juga diprediksi karena ganti rugi bagi para korban tak jelas.
Sebenarnya, Bank Dunia sebagai pemberi pinjaman pembangunan proyek telah mengajukan proposal anggaran ganti rugi Rp 400 meter per meter. Bahkan, Gubernur Jawa Tengah telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 593/135/1987 yang menyatakan bahwa uang ganti rugi senilai Rp 700 per meter persegi. Hanya saja, realisasinya tak semulus rencana.
Sebanyak 33,5 persen korban mengaku hingga saat ini belum menerima ganti rugi. Seperempat korban hanya menerima Rp 99 per meter persegi. Sebanyak 32 persen hanya menerima Rp 250 per meter persegi, sementara 13,2 persen lainnya mendapatkan Rp 300 per meter persegi.
Untuk itu, Heri menilai perlu memberian ganti rugi yang sepadan. Juga terkait perbaikan akses jalan, sarana pendikan dan kesehatan, serta fasilitas lainnya. “Kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo yang konon cukup proaktif membangun desa, kami usulkan bisa mendorong pembangunan sarana dan prasarana yang baik,” ujar Heri.
Mengingat berbagai fakta tersebut, Edo Rahman dari Departemen Kajian dan Pembelaan Hukum Lingkungan Walhi menilai masalah ini tak hanya tanggung jawab pemerintah. Bank Dunia juga perlu urun rembug mengatasinya. Lembaga keuangan internasional itu merupakan pemberi pinjaman US$ 156 juta dari proyek US$ 283 juta ini. “Pinjaman yang diberikan ini membuat dampak kemiskinan antargenerasi terjadi,” kata Edo.
Edo pun meminta Bank Dunia menghentikan pembiayaan bagi proyek-proyek infrastruktur besar di Indonesia saat ini. Apalagi, Bank Dunia telah menerapkan skema “Environmental and Social Framework” untuk menilai permohonan utang pembiayaan proyek sejak 1 Oktober 2018.
Skema yang menggantikan safeguard Bank Dunia tersebut menyandarkan penilaian permohonan utang untuk pembiayaan proyek kepada aturan yang berlaku di masing-masing negara (country system safeguard). Menurut Edo, skema ini berbahaya lantaran pemerintah Indonesia kerap memangkas perizinan untuk memacu pembangunan proyek infrastruktur.
Melalui skema ini, Edo khawatir nantinya dampak sosial maupun lingkungan dari proyek infrastruktur semakin terabaikan. “Kami meminta pihak Bank Dunia hentikan pendanaan proyek-proyek infrastruktur besar,” ucapnya.
Walhi juga meminta pemerintah memoratorium proyek-proyek infrastruktur yang berdampak pada pemindahan warga secara paksa. Lebih lanjut, dia meminta agar pemerintah segera mengeluarkan kebijakan yang jelas dan adil terkait proses resettlement ini.