Pacu Ekspor, Bekraf Minta Industri Kreatif Pantau Tren Konsumen Global

Instagram/@danjyohiyoji
Danjyo Hiyoji, salah satu peserta RISING Fashion 2018 di Paragon Mall, Singapura.
Penulis: Dini Hariyanti
4/10/2018, 17.36 WIB

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) optimistis pertumbuhan nilai ekspor di sektor ekonomi kreatif pada tahun depan  minimal 5%. Penopang utama tetap dari subsektor fesyen. Guna meningkatkan nilai tambah produk, eksportir perlu mencermati preferensi konsumen global.

"Ekspor ekonomi kreatif pada 2016 keseluruhan sekitar Rp 952 triliun, pada 2017 mendekati Rp 1.000 triliun, tahun ini bisa lewat dari itu. Tahun depan tumbuh sekitar 5% secara tahunan," tutur Kepala Bekraf Triawan Munaf kepada Katadata.co.id, Kamis (4/10).

Berdasarkan data yang dipublikasikan Bekraf hasil kolaborasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui, komoditas subsektor fesyen mendominasi kinerja ekspor sektor ekonomi kreatif (ekraf). Pada 2015, porsinya mencapai 56%.

Bekraf menginginkan agar lebih banyak pelaku ekonomi kreatif tampil sebagai penggagas ide. Untuk subsektor fesyen yang dibutuhkan adalah desainer. Semakin banyak perancang mode yang mendunia diharapkan bisa meningkatkan nilai tambah industri turunan pertekstilan ini.

"Upaya meningkatkan nilai tambah industri fesyen ini terus kami kerjakan. Tapi perlu diketahui juga, tidak semua desainer ingin meningkatkan skala bisnisnya. Ada yang dengan bisnis sekarang sudah puas," ujar Triawan.

(Baca juga: Agar Kebal Perang Dagang, Industri Fesyen Butuh Lebih Banyak Desainer

Dalam upaya menembus pasar ekspor yang lebih luas maka pelaku ekonomi kreatif perlu mencermati lebih jauh terkait preferensi konsumen secara global. Sebagai contoh, di subsektor fesyen bergulir perbincangan seputar ethical fashion.

Laman resmi Greenpeace sempat mempublikasikan tulisan berjudul “Melihat Eco Fashion Sebagai Seni Merawat Bumi”. Artikel ini memaparkan, ethical fashion dapat dipahami sebagai pendekatan etis antara desain fesyen dengan produksi dan konsumsi. Salah satu fokusnya adalah memaksimalkan manfaat bagi orang lain dan komunitas, sembari meminimalisir dampak buruk terhadap lingkungan.

Desainer fesyen Ria Miranda membenarkan, ethical fashion merupakan salah satu pertimbangan konsumen di luar negeri. "Pasar internasional setahu saya sangat concern dengan etichal fashion dan sustainability, ini (mencakup) hingga komposisi dari bahan yang digunakan," tuturnya kepada Katadata.co.id secara terpisah.

Bisnis fesyen terbilang laris manis tampak dari tingginya angka kunjungan ke berbagai area pusat perbelanjaan busana dan aksesorisnya. Laman daring Museum Victoria and Albert menyebutkan, setiap tahun setidaknya 100 juta shopper datang ke Oxford Street di London, Inggris.

Museum seni dan desain kenamaan tersebut juga menjelaskan, seiring dengan era globalisasi maka operasional produsen fesyen terbilang lebih hemat. Pasalnya, bahan baku dan tenaga kerja bisa diperoleh dari belahan dunia lain dengan harga lebih murah.

Dengan kata lain, bahan baku busana dapat diperoleh dari produsen di negara lain yang menawarkan harga lebih terjangkau. Tak hanya itu, jangka waktu produksi juga lebih cepat serta mampu menyuplai dalam jumlah banyak sehingga harga jual lebih murah.

Tren fast fashion ini memiliki sisi lain yang menjadi buah bibir terutama soal cara menjalankan bisnis. Isu yang muncul kemudian adalah eksploitasi tenaga kerja, kerusakan lingkungan, pencemaran akibat penggunaan bahan kimia, sampah industri, dan kekejaman terhadap hewan.

"Di sanalah ethical fashion hadir dengan tujuan untuk mengawal isu-isu tersebut," demikian mengutip laman vam.ac.uk, Kamis (4/10).

Olivia Pinnock, jurnalis yang fokus menyoroti dunia fesyen Eropa, dalam tulisannya menyampaikan bahwa berdasarkan penelitian Common Objective diketahui selama enam tahun terakhir pencarian via Google untuk istilah fesyen berkelanjutan (sustainable fashion) naik hingga 46%, sedangkan ethical fashion meningkat 25%.

"Oeko-Tex, perusahaan sertifikasi ekologis, membuat suatu kajian. Mereka mendapati bahwa dari 60% generasi milenial yang mengaku tertarik dengan produk busana bersertifikasi ternyata hanya 37% yang benar-benar membeli produk seperti itu," demikian mengutip Pinnock dari laman forbes.com.

Isu ethical fashion tersebut menjadi tantangan bagi pegiat bisnis fesyen untuk menembus pasar global. Kendati demikian, Ria Miranda berpendapat bahwa Indonesia tetap berpeluang untuk meraup pasar ekspor yang lebih besar.

Alasannya, konsumen di luar negeri memiliki ketertarikan terhadap berbagai hal yang bernuansa etnik. "Dan secara budaya, Indonesia sangat kaya akan ragam produk (yang memiliki nilai) budaya. (Etnik disukai) mulai dari proses hingga motif," kata Ria.

(Baca juga: Tantangan Suplai Bahan Baku Bagi Pelaku Bisnis Fesyen