Dalam sidang paripurna di Gedung Parlemen Senayan, 23 Februari delapan tahun silam, anggota DPR dan perwakilan pemerintah memutuskan nasib Rancangan Undang-Undang Perumahan Rakyat (Tapera) yang kini jadi polemik. “Apakah Rancangan Undang-Undang Perumahan Rakyat dapat disetujui?” tanya Wakil Ketua DPR dari Fraksi Demokrat Agus Hermanto yang memimpin sidang hari itu kepada 10 perwakilan fraksi dan direspons bulat: setuju.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono yang mewakili pemerintah kemudian membacakan pendapat akhir Presiden Joko Widodo di podium. Pendapat itu dibuka dengan mengutip Pasal 28 H ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 tentang hak warga negara atas tempat tinggal yang layak.
“Pembentukan Undang-Undang Tapera merupakan hal yang tepat sebagai bentuk kehadiran negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan tempat tinggal yang layak dan terjangkau bagi masyarakat,” ujarnya. “Kami mewakili presiden berpandangan akhir bahwa rancangan undang-undang ini dapat disahkan menjadi undang-undang.”
Dua kali masuk program legislasi nasional prioritas sebagai inisiasi DPR, ketentuan yang dibahas alot di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013-2014 itu akhirnya disahkan di era Presiden Joko Widodo pada 2016. Namun, pembahasan panjang nyaris empat tahun yang berujung mufakat tersebut sekarang dihadang kemarahan publik.
Langkah Presiden Joko Widodo merevisi aturan turunan Undang-Undang Tapera yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera, pada 21 Mei lalu, “membangunkan” publik soal kewajiban dalam aturan Tapera yang terlewat dari “radar” pantauan: seluruh pekerja berpenghasilan minimal sebesar upah minimum bakal diwajibkan menyetor 2,5 hingga 3 persen dari penghasilannya per bulan untuk tabungan perumahan berasas gotong royong.
Disebut gotong royong karena tujuannya adalah memobilisasi dana untuk menyediakan kredit pemilikan, pembangunan, hingga renovasi rumah berbunga rendah dan bertenor panjang untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Di sisi lain, mereka yang bukan termasuk MBR, ibarat menabung dana pensiun di badan lain, selain BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek.
Asosiasi buruh mengancam akan mengajukan judicial review alias uji materi UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi dan PP Tapera ke Mahkamah Agung. Alasannya, dari mulai risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) karena ada bagian yang juga harus disetor pemberi kerja, kondisi ekonomi dan potongan gaji yang sudah banyak, hingga risiko dana dikorupsi.
Di tengah kemarahan publik yang menggulung sebulan terakhir, anggota DPR hingga internal pemerintah pecah suara. Sederet politisi partai segera bersuara lantang mengkritik ketentuan yang disetujui perwakilan partainya sendiri sewindu lalu. Pada 6 Juni di Kompleks Parlemen Senayan, giliran Menteri Basuki yang sebelumnya berkomentar secukupnya soal Tapera, mengeluarkan pernyataan penyesalan.
“Jadi effort-nya dengan kemarahan ini saya pikir saya menyesal betul. Saya tidak legewo-lah,” ujarnya. Menurut dia, tidak perlu tergesa-gesa menerapkan ketentuan itu jika publik belum siap. “Jadi kalau ada usulan, apalagi DPR misalnya minta untuk diundur, saya sudah kontak dengan Ibu Menteri Keuangan (Sri Mulyani), kami akan ikut,” ujar Basuki.
Catatan Katadata, aturan teknis UU Tapera sudah selesai separuhnya. Puluhan aturan teknis sudah ditelurkan sepanjang periode 2018-2024, dari mulai Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 yang baru saja direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera hingga Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden seputar Badan Pengelola Tapera alias BP Tapera. Selain itu, terdapat aturan-aturan turunan seperti Peraturan Menteri, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Peraturan BP Tapera.
Terbitnya sederet aturan ini membuat skema Tapera bisa diterapkan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) mulai 2021 lalu.
Siapa Berbalik Ragu di Tengah Kemarahan Publik?
Sederet politisi termasuk dari fraksi-fraksi yang memimpin Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tapera dan tampil vokal mendorong ketentuan itu “diketok palu” bertahun silam, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kesejahteraan Sosial (PKS), berujung meminta penundaan dan evaluasi.
Dikritik publik sebagai pahlawan kesiangan, mereka berpendapat adalah beralasan untuk balik badan sekarang. Pertimbangannya, situasi ekonomi masyarakat hingga keamanan dana kelolaan.
Di antara yang lantang bersuara mengkritik UU Tapera, ada Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang mengatakan aturan harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi. Undang-undang, kata dia, bisa saja tidak sempurna sehingga perlu diperbaiki.
"Undang-undang selalu melihat konteks dan sebelum diimplementasikan kita harus melihat bagaimana kondisi rakyat, bagaimana aspirasi rakyat apalagi ada kecenderungan itu autocratic legalism," ujarnya, awal Juni lalu. Istilah Autocratic legalism menggambarkan penggunaan hukum oleh penguasa untuk memperkuat posisi mereka dan memperlemah demokrasi.
Setelah Hasto, dalam rapat antara Komisi V dengan Menteri Basuki, giliran Anggota DPR dari Fraksi PDIP Irene Yusiana Roba mengkritik skema Tapera yang simpang siur disebut pejabat sebagai “yang mampu mensubsidi yang kurang mampu”.
Irene menegaskan, subsidi adalah kewajiban negara. “Kalau sesama warga negara namanya gotong royong. Dan, alangkah malunya negara yang tidak mampu hadir untuk menjawab tantangan yang masyarakat hadapi,” kata dia.
Sebelum PDIP bersuara, Anggota Komisi V dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama meminta adanya evaluasi terhadap UU Tapera. Menurut dia, UU tersebut menjadi masalah karena aturan turunannya berupa Peraturan Pemerintah baru terbit di 2020 kemudian direvisi 2024, sedangkan kondisi ekonomi masyarakat sudah jauh berbeda.
Ditambah lagi, potongan gaji pekerja sudah semakin banyak dan kepercayaan masyarakat terhadap pengelola dana publik tergerus oleh kegagalan investasi hingga penyalahgunaan dana. Sebut saja kasus gagal bayar pada Asuransi Jiwasraya dan pengaturan investasi berujung rugi pada Asuransi Angkatan Bersenjata Indonesia (Asabri).
Di samping itu, “Belum adanya evaluasi terhadap pengelolaan dana Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum-PNS) yang merupakan cikal bakal Tapera yang berjalan sejak tahun 1993 sampai dilebur ke Tapera pada 2018, menambah rendahnya kepercayaan masyarakat,” kata dia melalui siaran pers, akhir Mei lalu.
Politisi Partai Golkar yang menjabat Ketua MPR Bambang Soesatyo juga menilai ketentuan tersebut perlu dikaji kembali atau ditunda sampai ada sosialisasi yang cukup sehingga masyarakat memahami manfaatnya. “Karena yang dibutuhkan sekarang adalah upaya meningkatkan kemampuan daya beli, meningkatkan pendapatan masyarakat setiap rumah tangga bukan malah kemudian dipotong sehingga kemampuan mewujudkan kebutuhan riilnya menjadi hilang sebagian,” ujarnya.
Dari internal pemerintah, selain Menteri Basuki, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko bicara soal peluang evaluasi. “Tapera ini diberlakukan paling lambat tahun 2027. Sampai 2027, masih ada waktu untuk saling memberi masukan, konsultatif, dan sebagainya,” ujarnya.
BP Tapera sendiri memberi sinyal Tapera belum siap berjalan penuh pada 2027. Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho mengatakan, penarikan setoran dari pekerja akan bertahap karena sumber daya manusia maupun teknologi di BP Tapera masih terbatas. "Terkait apakah di 2027, ya kami tidak bisa pastikan, ada capaian-capaian yang harus kami tuju dulu sebelum kami mendapatkan kepercayaan untuk memulai penarikan," kata dia.
Yang Ditolak Publik Sekarang, Pernah Ditolak Pemerintah Dulu
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tapera atau RUU Tapera antara DPR dan pemerintah yang dimulai pada 2013-2014 di era Presiden Bambang Yudhoyono, berjalan alot. Pada intinya, rancangan undang-undang tersebut diyakini DPR sebagai solusi tepat untuk menangani tingginya backlog pemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, backlog pemilikan rumah sebanyak 13,6 juta, dengan risiko penambahan 800 ribu unit per tahunnya, bila pemerintah tidak segera menemukan solusi. Program pembangunan rumah susun hingga Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan atau FLPP yang didanai APBN jadi beberapa solusi.
Namun, alokasi dana dari APBN untuk FLPP terbatas, sementara pemerintah membutuhkan dana lebih besar untuk menyelesaikan problem secara cepat. Skema tabungan pekerja Central Provident Fund (CPF) Singapura sempat dipelajari pemerintah sebelum kemudian dilirik DPR menjadi acuan Tapera.
Dalam catatan Katadata, poin-poin yang diributkan publik sekarang ini awalnya juga ditolak pemerintah. Mengutip pernyataan Ketua Pansus RUU Tapera yaitu politisi PDIP Yoseph Umar Hadi, pasal-pasal dalam draf awal yang ditolak ketika itu antara lain, penyertaan modal pemerintah untuk operasional awal termasuk penyiapan lahan oleh Badan Pengelola Perumahan Rakyat.
Kemudian, kewajiban perusahaan membantu pekerjanya menabung Tapera. Selain itu, kewajiban seluruh pekerja menjadi penabung, termasuk kelas menengah yang sudah memiliki rumah.
Alhasil, terjadi tarik ulur dalam pembahasan RUU antara DPR dengan pemerintah. DPR semula mengejar RUU Tapera disahkan pada akhir masa sidang 2012-2013 yaitu pada Juli 2013. Namun, pemerintah disebut pansus belum berani mengambil keputusan.
Pembahasan berlanjut pada masa sidang 2013-2014. Pada November 2013, Yoseph sempat mengungkapkan, progres pembahasan menjanjikan, dengan pemerintah menyetujui adanya pembagian iuran antara pekerja dan pemberi kerja, serta setoran modal pemerintah untuk Badan Pengelola Tapera. Yang belum disepakati adalah besarannya. Namun, pada 2014, pembahasan terkatung-katung karena menurut pansus, pemerintah beda pendapat dan tidak percaya diri. Pemerintah disebut sempat merencanakan penggunaan konsultan independen membahas pengelolaan dana Tapera karena menyangkut risiko ke anggaran negara.
Pada September 2014 alias menjelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beleid itu gagal disahkan dalam sidang paripurna DPR, dengan menyisakan satu pasal yang ditolak pemerintah yaitu soal persentase iuran yang saat itu ditetapkan 3 persen dari penghasilan per bulan, dengan pembagian 2,5 persen dari pekerja, 0,5 persen dari pemberi kerja.
Namun di balik cerita itu, Wakil Presiden Boediono yang ditugaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memimpin koordinasi di internal pemerintah terkait RUU Tapera disebut-sebut memang tak setuju dengan skema Tapera rancangan DPR tersebut.
Ekonom Ari perdana yang menjabat Asisten Koordinator Kelompok Kerja Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di era itu mengatakan Boediono menilai skema itu memberatkan karena pekerja dipaksa menabung bukan untuk rumahnya sendiri. Di sisi lain, ada banyak dimensi dalam urusan kebutuhan dan pasokan rumah yang terjangkau, bukan hanya soal pembiayaan makro.
Beleid akhirnya disetujui pada 2016 di era Presiden Joko Widodo, dengan mengeluarkan pasal soal persentase iuran, untuk kemudian diatur dalam peraturan pemerintah.
Kepentingan Bantu Pembiayaan APBN?
Dalam laporan bertajuk “Tapera untuk Siapa?”, lembaga riset ekonomi dan kebijakan publik Center of Economic and Law Studies atau Celios melihat adanya kepentingan pembiayaan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam dana Tapera. Merujuk pada laporan keuangan BP Tapera tahun 2022, penempatan dana terbesar adalah pada surat utang korporasi 47 persen, diikuti surat utang negara (SBN) 45 persen, sedangkan sisanya 8.34 persen disimpan dalam deposito dan 0.29 persen pada giro.
SBN memang diklaim sebagai instrumen investasi yang relatif aman karena ada jaminan dari pemerintah. Namun, deposito seharusnya menawarkan tingkat pengembalian yang tinggi. Apalagi sejak 2022, suku bunga deposito meningkat setelah Bank Indonesia mengerek suku bunga acuan secara agresif, 2,25 persen, dalam kurun waktu Juli 2022 sampai Januari 2023.
“Investor yang rasional seharusnya memilih deposito dibandingkan SBN yang menawarkan tenor panjang,” demikian tertulis dalam laporan Celios.
Celios mengaitkan keputusan investasi tersebut dengan arahan pemerintah kepada berbagai lembaga investasi pelat merah untuk menanamkan porsi investasi yang lebih besar di SBN untuk menstabilkan pasar SBN yang tertekan aksi jual, ketika itu. Tekanan jual pada SBN menyebabkan naiknya ekspektasi investor akan imbal hasil surat utang baru yang diterbitkan pemerintah.
Secara hitungan kasar Celios, dengan potensi dana Tapera mencapai Rp 135 triliun dari masyarakat, dan proporsi penempatan dana yang sama dengan 2022, maka dana yang ditempatkan dalam SBN bisa mencapai Rp 61 triliun. “Jadi, klaim bahwa Tapera tidak ada sangkut pautnya dengan APBN adalah tidak benar.”
Amunisi Pengusaha dan Buruh Tolak Kewajiban Tapera
Efek berganda Tapera untuk membantu pembiayaan APBN jadi "gunjingan" di tengah kebingungan publik, bukan hanya soal kemanfaatan, tapi "kegentingan" penambahan tabungan wajib tersebut.
Masalahnya, pekerja swasta juga mengiur Jaminan Hari Tua (JHT) dan bisa mendapatkan fasilitas pinjaman uang muka rumah, kredit untuk renovasi rumah, hingga kredit kepemilikan rumah dari BPJS Ketenagakerjaan alias BP Jamsostek lewat program Manfaat Layanan Tambahan (MLT).
Selama ini, pekerja dan pemberi kerja berbagi iuran JHT total 5,7 persen dari gaji pekerja per bulan. Pembagiannya, sebesar 3,7 persen kontribusi pemberi kerja dan 2 persen setoran dari pekerja.
Ini jadi amunisi pengusaha dan buruh memprotes ketetapan pemerintah soal wajib Tapera, dengan tawaran jalan tengah berupa kepesertaan yang bersifat sukarela bagi pekerja swasta. “Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 yang ditandatangani Presiden Jokowi tanggal 20 Mei 2024 lalu, kami nilai sebagai duplikasi program yang sudah ada, yaitu MLT perumahan pekerja yang berlaku bagi peserta program JHT BP Jamsostek,” ujar Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani, dalam Konferensi Pers bersama Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), akhir Mei lalu.
Apindo dan KSBSI berharap pemerintah dapat lebih mengoptimalkan dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan. Apalagi, sesuai Peraturan Pemerintah terkait, dana tersedia untuk program MLT mencapai 30 persen atau sekitar Rp 138 Triliun jika melihat aset JHT yang mencapai Rp 460 Triliun.
Dengan pemerintahan berganti di Oktober, buruh berencana mulai membuka diskusi dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto. Ditemui wartawan di gedung Parlemen Senayan, 6 Juni lalu, Prabowo mengomentari singkat soal polemik Tapera. "Kami akan pelajari dan cari solusi terbaik," kata dia.