Sejak resmi diluncurkan pada awal September lalu, realisasi implementasi program pencampuran biodiesel 20% ke bahan bakar minyak solar (B20) telah mencapai sebesar 80%. Pemerintah pun terus mendorong para pelaku usaha untuk meningkatkan komitmen penggunaan B20, salah satunya dengan memberi informasi terkait jadwal distribusi kapal pengangkut minyak nabati tersebut.
"(Hingga saat ini) kurang lebih 80%, tetapi tiap minggu akan kami pantau," kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto di Jakarta, Kamis (13/9).
Dia menjelaskan, pemerintah menargetkan mandatori B20 bisa diimplementasikan secara penuh per akhir September 2018. Dia pun menuturkan bahwa implementasi B20 masih mengalami sedikit kendala, salah satunya pada sistem pengangkutan kapal dan distribusi yang masih terbatas.
(Baca : Produsen Biodiesel Masih Hadapi Kendala dalam Penerapan B20)
Dia pun mencontohkan, PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang masih membutuhkan pengiriman FAME (Fatty Acid Methyl Ester) karena baru memulai proses pengangkutan pada 19 September 2018. Adapun kapal yang menyuplai FAME ke KPC memiliki jadwal keberangkatan sebulan sekali, sehingga persentase penyaluran B20 masih belum bisa opetimal.
"Kami akan meminta laporan penjadwalan kapal dari badan usaha supaya komitmennya jelas," ujarnya.
Pemerintah akan mulai bertindak tegas dengan mengenakan sanksi terhadap pelaku usaha yang tidak belum menggunakan B20 dengan alasan yang tak jelas. Namun, jika faktor kendalanya masih dapat ditoleransi, pemerintah belum akan menjatuhkan sanksi.
Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 Tahun 2018, badan usaha yang tidak menjalankan aturan ini dikenai sanksi sebesar Rp 6 ribu per liter.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi menjelaskan, sektor transportasi di laut dan darat sudah menyatakan kesiapan untuk mendukung program mandatori B20, kendati mesti melakukan berbagai penyesuaian untuk memastikan program berjalan dengan baik.
Baca : Jelang Penerapan B20, Hanya Dua dari 11 Perusahaan yang Teken Kontrak)
Seperti, penggunaan filter harus diperbaiki dan tangki kendaraan harus dikuras supaya B20 berlangsung optimal. "APM (Agen Pemegang Merek) juga akan membuat semacam SOP (Standard of Procedure) untuk penggunaan b20," katanya.
Penerapan mandatori B20 sebelumnya dikatakan memang belum bisa sepenuhnya berjalan mulus dan masih ada sejumlah kendala, salah satunya pada proses distribusi.
Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) menyatakan masih ada beberapa kendala dalam penerapan mandatori biodiesel 20% (B20) dari sektor Public Service Obligation (PSO) ke non-PSO.
Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan menjelaskan pemetaan proses distribusi biodiesel baru mencapai 87% terkait penyebarannya ke seluruh wilayah Indonesia. “Masing-masing tempat mempunyai permasalahan yang spesifikasinya berbeda,” kata Paulus, akhir Agustus lalu.
(Baca: Pertamina Kekurangan Pasokan Minyak Nabati untuk Penerapan B20)
Seperti pada proses pendistribusian dari Sibolga, Sumatera Utara ke Pulau Nias yang masih memiliki keterbatasan jumlah Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP). Sementara itu, pada Pelabuhan di Lampung ada sistem yang membuat kapal antre sehingga dapat memperlambat waktu distribusi.
Paulus juga menyebut ada kendala pengiriman ke wilayah yang sulit terjangkau seperti ke Maumere, Nusa Tenggara Timur, termasuk jua di antaranya penyaluran kebutuhan B20 ke wilayah perbatasan atau kawasan berikat (bonded zone).
Selain itu, kondisi cuaca dan ombak besar bisa memperlambat waktu pengiriman. Namun, Aprobi yakin penerapan mandatori B20 bisa tetap berjalan, meskipun secara bertahap.