Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti menyatakan, menyetujui usulan eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temengggung untuk hapus buku porsi utang unsustainable petambak plasma sebesar Rp 2,8 triliun. Utang itu bagian dari total surat utang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Rp 4,8 triliun dari petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM).
Menurut Dorodjatun, disetujuinya penghapusan utang tersebut lantaran usulannya telah dibawa ke Sidang Kabinet Terbatas pada 11 Februari 2004. Usulan tersebut telah disampaikan langsung kepada Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri.
"Saya melihat (usulan) itu sudah dibawa ke Sidang Kabinet, mungkin itulah yang sudah harus dilaksanakan. Kalau tidak ada Sidang Kabinet, saya barangkali tidak akan semudah itu (menyetujui usulan)," kata Dorodjatun ketika bersaksi untuk Syafruddin dalam sidang korupsi BLBI di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (16/7).
Dalam persidangan ini, Dorodjatun sekaligus pihak yang dianggap bersama-sama Syafruddin, Sjamsul Nursalim beserta Itjih S Nursalim diduga telah atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum. Syafruddin didakwa merugikan negara dan memperkaya Sjamsul dalam kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas utang BLBI sebesar Rp 4,58 triliun.
(Baca juga: Sjamsul dan Dorodjatun Ada dalam Dakwaan Kasus BLBI Eks Kepala BPPN)
Lebih lanjut Dorodjatun membeberkan Megawati dalam Sidang Kabinet tidak memberikan tanggapan atas usulan BPPN. Dari sidang kabinet itu, Dorodjatun membuat kesimpulan Megawati telah menyetujuinya.
Alasannya, selama sidang tidak ada yang keberatan atas usulan tersebut. Selain itu, dia dan Syafruddin tak pernah dipanggil kembali untuk membahas masalah tersebut. Padahal, jika memang ada keberatan tentu Megawati akan mengundangnya kembali ke Istana Negara.
"Apabila memang ada hal yang dirasakan tidak tepat dan sebagainya itu dipanggil oleh presiden. Pada Sidang Kabinet tidak ada dan akhirnya disimpulkan disetujui," kata Dorodjatun.
Pria yang juga menjabat sebagai eks Ketua Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) tersebut mengatakan, persetujuan atas usulan tersebut kemudian dituangkan dalam Keputusan No. KEP. 02/K.KKSK/02/2004 pada 13 Februari 2004. Keputusan itu menyetujui nilai utang masing-masing petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya sebesar Rp 100 juta.
Dengan penetapan nilai utang maksimal tersebut, maka sebagian utang pokok dihapuskan secara proporsional sesuai beban utang masing-masing petambak plasma. Selain itu, seluruh tunggakan bunga serta denda dihapuskan.
(Baca juga: Mantan Ketua BPPN Sebut Audit BPK Soal BLBI Saling Bertentangan)
Keputusan KKSK sebelumnya yang memerintahkan porsi utang unsustainable ditagihkan ke pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan dialihkan ke PT DCD pun dinyatakan tidak berlaku. Ini mengakibatkan hilangnya hak tagih negara melalui BPPN kepada Sjamsul.
Kesaksian Dorodjatun ini melengkapi keterangan yang diberikan Mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kwik Kian Gie. Kwik bersaksi pada Kamis (5/7), mengatakan bahwa Megawati sewaktu menjabat presiden pada akhirnya menyetujui pemberian SKL kepada debitur penerima BLBI.
Dikutip dari Antaranews.com, Kwik mengatakan saat itu Megawati pernah meminta menterinya membuat rancangan Inpres Nomor 8/2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor BLBI yang telah menyelesaikan kewajibannya.
Kwik katakan, ada beberapa pertemuan yang membahas BLBI itu. Pertemuan yang dimaksud Kwik adalah pada sekitar 2001-2002 saat ia menjabat sebagai kepala Bappenas, terjadi di Istana Negara dan dihadiri Menko Ekuin, Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, Menteri Keuangan, Boediono, Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi, Jaksa Agung, MA Rahman, Kwik, serta Menteri Kehakiman, Yusril Mahendra.
Kwik mengaku tetap tidak setuju penerbitan SKL BLBI, namun akhirnya Megawati tetap memutuskan untuk menerbitkan SKL kepada obligor yang kooperatif, termasuk Nursalim.
"Inpres itu lahir sebagai pelaksanaan UU Propenas dan Tap MPR yang mengatakan dengan adanya krisis ini tidak memberikan kenyamanan dan ketidakpastian jadi perlu diberi kepastian hukum lagi, itulah makanya instruksi presiden dibuat," kata Kwik.
(Baca juga: Syafruddin Temenggung Minta Sjamsul Nursalim Jadi Saksi Kasus BLBI)