Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief heran dengan pengumuman daftar pembayar pajak terbesar di Indonesia yang ternyata tak seluruhnya memuat daftar orang-orang terkaya di Indonesia. Beberapa nama tokoh yang selama ini didapuk Forbes sebagai sepuluh orang terkaya di Indonesia tak memenangkan penghargaan sebagai pembayar pajak terbesar.
"(Orang) yang saya investigasi hartanya luar biasa kok enggak masuk," kata Laode di Hotel Grand Mercure, Jakarta, Selasa (27/3).
Pemerintah memberikan penghargaan kepada 31 wajib pajak besar yang tercatat berkontribusi tinggi terhadap penerimaaan pajak 2017 dan taat aturan perpajakan, beberapa waktu lalu. Sebanyak 23 di antaranya merupakan perusahaan, sedangkan delapan lainnya adalah orang kaya Indonesia.
(Baca juga: Ini 8 Konglomerat Pembayar Pajak Terbesar: Anthoni Salim Hingga CT)
Sebanyak delapan konglomerat yang masuk daftar penerima penghargaan, yaitu pendiri grup Medco Arifin Panigoro, penerus bisnis Grup Salim yang juga menjabat Presiden Direktur Indofood Anthoni Salim, pemilik CT Corp Chairul Tanjung, dan pemilik Grup Mahaka Erick Thohir.
Selain itu, pendiri grup Saratoga Edwin Soeryadjaya, pemilik Grup Lippo James Tjahaja Riady, pemilik grup Emtek Raden Eddy Kusnadi Sariaatmadja, dan pengusaha yang kini menjabat Staf Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi.
Sementara, dari daftar 10 orang terkaya versi Forbes akhir 2017, namun tak masuk daftar pembayar pajak terbesar di antaranya Budi dan Michael Hartono (pemilik Djarum), Eka Tjipta Widjaja (pengusaha kelapa sawit), Susilo Wonowidjojo (pemilik Gudang Garam), Sri Prakash Lohia (pengusaha industri petrokimia), Boenjamin Setiawan (pemilik Kalbe Grup), Tahir (pengusaha rumah sakit, bank, real estate), dan Jogi Hendra Atmadja (pengusaha industri makanan).
Laode menuturkan, fenomena orang-orang terkaya yang tak terdaftar sebagai pembayar pajak terbesar diduga menggunakan nama pihak lain untuk mendirikan perusahaannya. Tujuannya untuk menghindari kewajiban pajak. "Kadang enggak ada namanya orang-orang ini, tapi sangat berkuasa di sebuah perusahaan. Dia tidak tercantum secara resmi," kata Laode.
(Baca juga: Ada Perpres Beneficial Ownership, Cuci Uang Korporasi Mudah Dibongkar)
Karenanya, Laode merasa Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi akan berguna mendorong pemilik perusahaan ini membayar pajak. Sebab, mereka melalui aturan ini diwajibkan untuk mendeklarasikan diri sebagai pemilik manfaat atau beneficial ownership (BO) dari korporasi.
"Ya makanya kalau dengan adanya beneficial owner ini mudah-mudahan semua perusahaan yang terdaftar itu bisa membuat transparansi siapa pemiliknya sehingga Dirjen Pajak bisa tahu," kata Laode.
Laode mengatakan, transparansi melalui BO ini juga akan meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Alasannya, berbagai lembaga pemeringkat seperti Fitch Ratings, Moody's Investors Service, dan Standard and Poor's (S&P) turut pula mengkaji transparansi informasi untuk menilai iklim investasi.
"Kalau kita mau mengangkat investasi di Indonesia, ya harus transparan. Makin disembunyikan ya investasi makin tidak baik. Jadi ini perlu kami tekankan," kata dia.