Survei Populi: Elektabilitas Jusuf Kalla Tertinggi sebagai Cawapres

Arief Kamaludin|Katadata
Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
28/2/2018, 17.34 WIB

Hasil survei Populi Center terbaru menunjukkan Jusuf Kalla (JK) menjadi calon wakil presiden (cawapres) dengan elektabilitas tertinggi untuk maju dalam Pilpres 2019. Kalla mengalahkan tokoh-tokoh yang lebih muda yang selama ini digadang sebagai cawapres.

Populi mengadakan survei pada 7-16 Februari 2018 dengan melibatkan 1.200 responden di seluruh Indonesia. Pemilihan responden dilakukan secara acak (multistage random sampling) dengan margin of error (tingkat kesalahan) sebesar 2,89% dan tingkat kepercayaan sebesar 95%.

Berdasarkan simulasi top of mind Populi Center, elektabilitas JK bertengger pada posisi pertama sebagai cawapres sebesar 15,3%. Posisinya disusul mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dengan elektabilitas sebesar 7,3%.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menempati posisi ketiga sebagai cawapres dengan elektabilitas sebesar 3,4%. Sementara, Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memiliki elektabilitas sebesar 3,3% diiringi Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebesar 2,8%.

"Kita bisa melihat di posisi yang paling atas ada Jusuf Kalla," kata peneliti Populi Center Hartanto Rosojati di kantornya, Jakarta, Rabu (28/2).

(Baca juga: Simulasi Survei, Jokowi-AHY Berpeluang Kalahkan Prabowo-Anies di 2019)

Tak hanya dalam simulasi terbuka, JK pun mendapatkan elektabilitas tertinggi jika nantinya diduetkan dengan Joko Widodo dalam Pilpres 2019. Elektabilitas JK jika menjadi cawapres untuk Jokowi sebesar 15,6%.

Angka ini disusul oleh Prabowo dengan elektabilitas sebesar 11,5%. Gatot menempati posisi ketiga dengan elektabilitas sebesar 10%. Sementara, AHY memiliki elektabilitas sebesar 5,9%. Posisi kelima ditempati Mahfud MD dengan elektabilitas sebesar 4,8%.

Menurut Hartanto, tingginya elektabilitas JK muncul karena belum banyak pilihan alternatif cawapres dalam Pilpres 2019. Sementara, JK sendiri telah dua kali menjabat sebagai wapres yakni pada periode 2004-2009 dan 2014-2019.

"Alternatif pilihan cawapres belum begitu banyak sehingga nama JK muncul yang paling tinggi," kata Hartanto.

Ketua DPP PDIP Maruarar Sirait mengklaim tingginya elektabilitas JK sebagai cawapres mengindikasikan bahwa masyarakat memang menginginkannya untuk terjun kembali dalam Pilpres 2019 meski secara aturan masih diperdebatkan. Bahkan, elektabilitas JK lebih tinggi bila melawan gabungan dukungan terhadap Gatot, Anies, dan Agus yang sebesar 14%.

"Bahkan tiga besar yang lain digabung jadi satu masih tinggian JK karena masyarakat kita melihat kenyataan Jokowi-JK itu saling melengkapi," kata Maruarar.

(Baca juga: Mengukur Peluang Kalla Jadi Cawapres di Pemilu 2019)

Selain itu, Maruarar juga menilai faktor usia tak jadi masalah bagi masyarakat untuk memilih JK. Padahal berdasarkan survei Populi Center, 67,1% responden memiliki preferensi capres dan cawapres yang berusia berusia di bawah 60 tahun.

Hanya 1,8% responden yang memiliki preferensi capres dan cawapres berusia di atas 60 tahun. Adapun 20,3% tak mempertimbangkan latar belakang usia.

"Artinya begitu menyangkut figur, umur enggak jadi masalah lagi ternyata. JK bisa diterima oleh orang yang berpandangan sekalipun harus muda, sehat, dan sebagainya," kata Maruarar.

Adapun terkait aturan pembatasan masa jabatan wapres yang mengganjal JK untuk maju kembali dalam Pilpres 2019, Maruarar mengatakan akan mempelajarinya kembali. Jika benar tak bisa menjadi cawapres, Maruarar tetap yakin JK akan mendukung Jokowi dalam Pilpres 2019.

"Saya yakin Pak JK pada 2019 nanti akan mendukung Pak Jokowi. Catat saja baik-baik itu. Saya mengerti jiwa dan karakternya Pak JK," kata dia.

Usai mengadakan Rapat Kerja Nasional PDIP di Bali pada 23 Februari hingga 25 Februari 2018, muncul wacana Jusuf Kalla sebagai cawapres mendampingi Jokowi. Pengusungan ini menuai pro dan kontra karena Kalla sudah dua kali menjabat sebagai wakil presiden.

Kalla pertama kali menjadi wakil presiden berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004-2009 dan kemudian mendampingi Jokowi pada 2014-2019. Sehingga Kalla dianggap tak lagi dapat diusung sebagai cawapres karena berbenturan dengan Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi presiden dan wapres hanya dua periode.