Amnesty Internasional merilis laporan tahunan mengenai situasi Hak Asasi Manusia di 159 negara, termasuk Indonesia sepanjang 2017 pada Kamis (22/2). Dalam laporannya, Amnesty mengatakan jika tahun 2017 merupakan penanda berkembangnya politik kebencian di Indonesia.
"Politik kebencian ini melahirkan pelanggaran-pelanggaran HAM baru yang disponsori oleh aktor negara dan non-negara," ujar Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid di Jakarta.
Menurut Usman, politik kebencian di Indonesia kerap mengeksploitasi sentimen moralitas agama dan nasionalisme sempit. Hal tersebut dilakukan aktor negara dan non-negara yang mengajak pengikut mereka dan masyarakat luas untuk membenci mereka yang dianggap berbeda.
"Antara lain kelompok atau individu yang dituduh anti-Islam atau menyimpang dari Islam, anti-nasionalis atau radikalis Islamis, anti-NKRI dan separatis, hingga anti-pembangunan atau komunis," lanjut Usman.
(Baca juga: Indeks Demokrasi Jakarta Anjlok Drastis Akibat Kampanye Pilgub)
Amnesty mencatat, politik kebencian menggunakan sentimen moralitas agama di Indonesia salah satunya ditunjukkan dalam Pilkada DKI 2017. Ketika itu, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok divonis dua tahun penjara akibat dianggap menodai agama Islam.
"Lawan politik Ahok menggunakan sentimen anti-Islam untuk mengumpulkan ratusan ribu massa di Jakarta dan menekan penegak hukum memenjarakan Ahok," kata Usman.
Selain itu, ada pula kasus kriminalisasi dengan isu penodaan agama terhadap tiga pimpinan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Ahmad Mushaddeq, Mahful Muis, Tumanurung, dan Andry Cahya. Amnesty beranggapan seluruh kasus tersebut memperparah situasi perlindungan beragama di Indonesia selama 2017.
"Selama tahun 2017 ada total 11 orang divonis bersalah menggunakan pasal penodaan agama. Pasal karet tersebut sering digunakan untuk menyasar individu yang merupakan bagian dari agama maupun keyakinan minoritas," kata Usman.
(Baca juga: Ajukan PK Tanpa Banding, Ahok Perlu Penuhi Beberapa Syarat)
Pemerintahan Joko Widodo juga dinilai mengkapitalisasi sentimen radikalisme tersebut untuk menjustifikasi mengeluarkan Perppu Ormas pada Juli 2017. Usman mengatakan, Perppu tersebut mengajak orang-orang khususnya dari kalangan moderta untuk membenci mereka yang dianggap radikal.
Padahal, mereka belum tentu melakukan tidak pidana sebagaimana diatur undang-undang. Menurut Usman, ini adalah bentuk kebencian yang disponsori oleh negara dengan berlindung melalui alibi mencegah penyebaran paham radikal di Indonesia.
"Perppu ini membatasi hak kemerdekaan berserikat, berpendapat, beragama, dan berkeyakinan," kata Usman.
Selain itu, Amnesty juga mencatat setidaknya ada 30 ditahan karena dituduh sebagai separatis. Padahal, mereka hanya mengekspresikan pandangan politik, keyakinan, atau agama secara damai.
"Pihak berwenang terus menangkap dan memproses hukum mereka yang menyuarakan aspirasi politik secara damai, khususnya di wilayah yang mempunyai catatan gerakan pro-kemerdekaan seperti Papua," kata Usman.
Usman menyebutkan, doktrin pembangunan yang dikampanyekan pemerintahan Jokowi melahirkan bentuk pelanggaran HAM baru. Sebab, aparat keamanan juga menggunakan pasal komunisme untuk menjerat mereka yang menyuarakan kritiknya terhadap pembangunan.
(Baca juga: BPS Catat Indeks Demokrasi Turun Akibat Surutnya Peran Partai Politik)
Hal ini terlihat dari bagaimana petani dan aktivis lingkungan Heri Budiawan alias Budi Pego ditahan pada 4 September 2017 setelah polisi menuduhnya menyebarkan ajaran komunisme pada salah satu spanduk yang digunakannya dalam demonstrasi menolak tambang emas di Banyuwangi. Ada pula kasus pelarangan seminar terbatas bersifat ilmiah yang dihadiri korban pelanggaran HAM 1965 oleh polisi karena protes kelompok anti-komunis di LBH Jakarta.
"Sementara dengan alasan larangan hukum atas komunisme, kepolisian tidak mengambil tindakan hukum dalam kasus penyerangan sekelompok massa anti-komunis terhadap aktivis dan para korban yang berkumpul di LBH Jakarta," kata Usman.
Selain itu, politik kebencian terhadap kepada kelompok minoritas seksual juga meningkat pada 2017. Pasalnya, penegak hukum banyak melakukan razia dan penangkapan terhadap orang-orang yang dianggap LGBTI.
"Jika pada 2016 pejabat negara hanya melontarkan pernyataan yang menyudutkan kelompok LGBTI atas nama moralitas, maka tahun 2017 ini pernyataan-pernyataan tersebut ke dalam bentuk tindakan konkret oleh aparat," kata Usman.
Menurut Usman, politik kebencian ini berpotensi untuk dikapitalisasi pada 2018. Ini akan semakin berpeluang di tahun 2019 di mana Pemilu Presiden akan berlangsung.
"Kelompok-kelompok minoritas yang menjadi target kebencian di tahun-tahun politik," kata dia.