Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan penolakannya atas wacana menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai alternatif Undang-Undang MPR, DPD, DPR dan DPRD (UU MD3) yang kontroversial. Jokowi mendorong masyarakat untuk mengajukan uji materi atas UU MD3 yang mendapat persetujuan rapat paripurna DPR pada Senin (12/2).
“Saya kira tidak sampai ke sana (penerbitan Perppu), yang tidak setuju silakan berbondong-bondong ke MK untuk judicial review,” dalam keterangan Sekretariat Presiden Rabu (21/2).
Presiden menyatakan paham dengan kesesahan masyarakat terkait berlakunya UU MD3. "Banyak yang mengatakan ini hukum dan etika kok dicampur aduk. Ada yang mengatakan politik sama hukum kok ada campur aduk,” kata Jokowi.
(Baca juga: Menteri Hukum: Presiden Jokowi Kemungkinan Tak Tandatangani UU MD3)
Jokowi mengatakan, draft UU MD3 tersebut sudah berada di mejanya namun belum ditandatanganinya. Meski tanpa ditandatangani, Jokowi menyadari UU ini tetap akan berlaku. "Kami semua tidak ingin ada penurunan kualitas demokrasi," katanya.
Sebelumnya Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly usai bertemu dengan Jokowi mengatakan presiden kemungkinan tidak menandatangani UU MD3 karena kaget dengan aturan tersebut. Yasonna mengatakan selama ini Jokowi tak mendapat masukan mengenai perkembangan pembahasan UU MD3 di DPR.
Sebelumnya pengacara Hukum Tata Negara Andi M Asrun menyatakan jika UU MD3 tidak ditandatangani Jokowi, maka proses gugatan aturan tersebut di MK akan menjadi lebih mudah. Sebab, dengan tidak ditandatangani maka pemerintah dapat memberikan pendapat berbeda dengan DPR ketika berjalannya proses persidangan di MK.
"Sehingga kemungkinan pasal yang diujikan itu akan dibatalkan oleh MK," kata Asrun yang kerap menjadi pengacara dalam kasus di MK.
(Baca juga: Jokowi Disebut Dapat Keuntungan Politik Bila Tak Tandatangani UU MD3)
UU MD3 ini telah digugat ke MK oleh Forum Kajian Hukum dan Kontitusi (FKHK) pada Rabu (14/2). Gugatan uji materi dengan nomor registrasi 1756/PAN.MK/II/2018 mempersoalkan tiga poin dalam subtansi UU MD3 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, yakni:
Pertama, UU MD3 Pasal 73 ayat 4, mengatur mengenai pemanggilan paksa terhadap rekan kerja yang mangkir hadir dalam rapat di DPR. Bunyi pasal tersebut: Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kedua, UU MD3 Pasal 122 huruf k mengatur hak DPR dalam mengambil langkah hukum terhadap pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR atau anggotanya. Pasal 122 huruf k dalam revisi UU MD3 itu menyebutkan, dalam melaksanakan fungsi Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas: (k) Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
(Baca juga: Atur Imunitas dan Antikritik DPR, UU MD3 Akhirnya Digugat ke MK)
Ketiga, UU MD3 Pasal 245 ayat 1, yang mengatur hak imunitas. Pasal tersebut menyebutkan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Pemohon menjelaskan pasal tentang Hak Imunitas Anggota DPR dianggap bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menjamin persamaan di muka hukum. Hak imunitas yang diatur dalam Pasal 20A UUD 1945 seharusnya hak imunitas itu diberikan terkait dengan hubungannya dengan tugas dari anggota DPR.