Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret 2018 sudah mencapai US$ 65,61 per barel di New York Mercantile Exchange. Sementara, minyak mentah Brent North Sea yang menjadi patokan global untuk pengiriman Maret harganya naik 57 sen menjadi US$ 70,53 per barel di London ICE Futures Exchange.
Naiknya harga minyak dunia tersebut dinilai membuat harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri saat ini sudah tidak ekonomis. Dalam daftar harga jual PT Pertamina (Persero) per 16-31 Januari 2018, tercatat Premium sebesar Rp 6.550 per liter, Pertalite Rp 6.700 per liter, Pertamax Rp 8.600 per liter, Pertamax Turbo Rp 9.600 per liter, dan Pertamina DEX Rp 9.250 per liter.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Sulistyo menilai harga keekonomian BBM jenis Premium seharusnya sebesar Rp 8.925 per liter, minyak tanah Rp 7.952 per liter, dan Solar Rp 9.058 per liter. Harga tersebut dengan asumsi nilai tukar terhadap dolar AS sebesar Rp 13.321 dan harga minyak mentah Brent yang menjadi patokan global.
"Betapa secara keekonomian sudah di atas (harga seharusnya)," kata Eko di kantornya, Jakarta, Kamis (25/1). (Baca: Harga Minyak Jadi Salah Satu Tantangan Utama Ekonomi Indonesia 2018)
Menurut Eko, di satu sisi kenaikan harga minyak dunia ini dapat menguntungkan karena menambah penerimaan negara dari sektor migas. Namun, di sisi lain hal tersebut justru akan berdampak terhadap nilai tukar rupiah.
Alasannya, kenaikan harga minyak di tengah ketergantungan impor yang besar berkonsekuensi pada meningkatnya permintaan Dollar AS. Sementara kemampuan peningkatan ekspor Indonesia masih sangat terbatas.
"Sehingga berpotensi menekan keseimbangan pasar valas yang berisiko mengganggu stabilitas serta nilai Rupiah," kata Eko.
Kenaikan harga minyak juga akan berdampak langsung pada peningkatan nilai impor BBM dan lebih lanjut akan mengganggu neraca perdagangan Indonesia.
Ekonom INDEF Abdul Manap menambahkan, naiknya harga minyak juga berpotensi menekan daya beli masyarakat karena meningkatnya harga BBM kerap diiikuti oleh inflasi.
Abdul mencontohkan, kenaikan Premium sebesar 23,5% dan Solar sebesar 36,4% pada November 2014 diikuti inflasi 3,96% pada November-Desember 2014. Angka tersebut lebih besar dibandingkan total inflasi 2017 yang sebesar 3,61%.
"Pada saat ini terjadi akan bertransmisi menekan daya beli masyarakat. Pada saat ini tertekan tentunya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi yang sebagian besar dikontribusikan konsumsi rumah tangga," kata Abdul.
Untuk itu, INDEF menilai pemerintah harus segera melakukan simulasi dampak terhadap kenaikan minyak, dan mengumumkan langkah mitigasi kenaikan minyak. Hal ini dimaksudkan agar memberikan kepastian terhadap dunia usaha.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengambil langkah konkret untuk mengefisiensikan pengelolaan BBM, baik di sisi hulu maupun hilir. Pemerintah juga diminta mengurangi proporsi energi fosil sebagai sumber pembangkit tenaga listrik.
"Pilihannya adalah efisiensi tata kelola atau dilihat mana yang lebih urgent," kata Eko.