ICW Catat Sepuluh Potensi Korupsi di Pilkada Serentak 2018

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Pilkada DKI Jakarta 2017.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
11/1/2018, 20.05 WIB

Selain itu, mahar politik juga dapat berdampak pada membengkaknya biaya kampanye Pilkada. Pasalnya, terjadi pergeseran akibat diberikannya subsidi negara kepada calon kepala daerah.

Selain itu, batasan sumbangan dana kampanye bagi calon kepala daerah juga dinaikkan Calon kepala daerah juga dibolehkan memberikan barang seharga maksimal Rp 25 ribu kepada pemilih. "Dana kampanye bahkan jadi lebih mahal," kata Almas.

Tingginya biaya ini memunculkan masalah keempat yakni pengumpulan modal ilegal melalui jual beli izin usaha, jual beli jabatan, dan suap proyek. Selain itu, calon kepala daerah juga dapat mempolitisasi program pemerintah seperti dana hibah, bantuan sosial, dana desa, dan anggaran rawan lainnya untuk kampanye.

"Contohnya, praktik korupsi inkumben mencari sumber pendanaan dari kewenangan yang mereka miliki. Demokrasi yang brkembang secara prosedural belum dikuatkan dengan demokrasi substansial," kata Donal.

Masalah keenam terjadi karena munculnya politisasi birokrasi dan pejabat negara untuk memenangkan calon kepala daerah tertentu dalam Pilkada. Selain itu, muncul pula masalah politik uang untuk jual beli suara pemilih.

Pengamat politik Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengatakan, politik uang muncul karena calon kepala daerah percaya pada mitos hal tersebut dapat memenangkan Pilkada. "Padahal ini belum tentu berdampak signifikan," kata Yunarto.

Masalah kedelapan yang berpotensi muncul adalah terjadinya manipulasi laporan dana kampanye. Selain itu, potensi lain yang muncul adalah dilakukannya suap kepada penyelenggara pemilu.

"Lalu munculnya nama bermasalah, nama mantan narapidana kasus korupsi, dan dinasti politik," kata Donal. (Baca: Survei LSI: Semakin Religius Seseorang Tak Menjamin Bebas Korupsi)

Halaman: