PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) menggugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Menteri LHK Siti Nurbaya menilai gugatan yang dilayangkan RAPP terkait pencabutan izin Rencana Kerja Usaha (RKU), tidak tepat.
Siti mengatakan kebijakan KLHK mencabut RKU RAPP dan meminta perusahaan melakukan perbaikan bertujuan memproteksi lahan gambut. Siti mengatakan, KLHK meminta RAPP menyesuaikan RKU di lapangan sesuai aturan. Permintaan ini telah disampaikan sejak Mei 2017, namun perseoran tak kunjung merevisi RKU sesuai petunjuk KLHK.
"Nah dia tidak mau lakukan itu, jadi terpaksa aturan kami jalan semua," kata Siti di Jakarta, Selasa (19/12). (Baca: RAPP Mengaku Salah dan Akan Perbaiki Rencana Kerja Usaha HTI)
Menurut Siti, sebenarnya tak sulit untuk menyesuaikan RKU sesuai rekomendasi aturan yang diterbitkan KLHK. Dia pun bingung mengapa RAPP tak kunjung menyesuaikan hal tersebut. "Apa yang susah? enggak ada yang susah kecuali enggak mau. Itu saja," kata Siti.
Siti menyatakan pihaknya kini menunggu putusan sidang tersebut yang akan dibacakan pada Kamis (21/12). "Enggak ada (persiapan). Sudah tunggu saja," kata Siti.
Perusahaan milik Sukanto Tanoto ini merupakan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI), yang berlokasi di Provinsi Riau, dengan luas konsesi 338.536 Ha. Perusahaan ini sebelumnya telah berjanji untuk merevisi RKU sesuai dengan peraturan tata kelola gambut.
(Baca: Menteri LHK Paparkan Manuver RAPP Langgar Aturan Lahan Gambut
Namun, perusahaan belum memperbaiki RKU dan malah melayangkan gugatan terhadap KLHK ke PTUN pada 16 November 2017. Dalam gugatan dengan nomor perkara 17/P/FP/2017/PTUN-JKT itu, RAPP keberatan dengan pencabutan Surat Keputusan Menteri LHK soal pembatalan RKU bernomor SK.5322/2017.
Pada persidangan 11 Desember lalu, KLHK menghadirkan saksi ahli dan saksi fakta. Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono bertindak sebagai kuasa hukum pihak KLHK, menjelaskan bahwa SK.5322/2017 yang membatalkan SK pengesahan RKU sebelumnya, bertujuan mencegah berulangnya kebakaran hutan dan lahan seperti yang terjadi pada tahun 2015, terutama diakibatkan oleh kerusakan ekosistem gambut.
"Tadi sudah dihadirkan para saksi ahli hukum KLHK, seperti Prof Zudan Arif Fakrullah, Prof Philipus M. Hadjon, dan Prof Asep Warlan Yusuf. Ketiganya menguatkan langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam hal ini Menteri LHK. Sudah tegas dan jelas, bahwa langkah pemerintah bukan tindakan sewenang-wenang," kata Bambang dalam siaran pers KLHK.
KLHK mengklaim selalu memfasilitasi proses penyesuaian RKU RAPP maupun perusahaan HTI lainnya. Bambang membantah pernyataan RAPP yang mengklaim tak mendapat respons dari KLHK.
"Tadi juga sudah dijawab oleh para saksi ahli KLHK, bahwa respon dapat berupa pemanggilan untuk pertemuan, surat-menyurat, peninjauan lapangan, juga konsultasi. Kami sudah terus melakukan itu dengan RAPP," ujar Bambang.
(Baca: Sejak Tahun 2015, Titik Kebakaran Hutan Berkurang 89%)
Bambang menjelaskan dengan diterbitkannya PP 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, seluruh pemegang izin HTI yang ada gambut di dalam konsesinya diwajibkan melakukan penyesuaian RKU.
Sementara itu, Kuasa Hukum PT RAPP yang diwakili oleh Kantor Konsultan Hukum Zoelva & Partners, mempertanyakan Pasal Peralihan dalam PP 71 Tahun 2014. RAPP beranggapan bahwa kebijakan perbaikan tata kelola gambut tidak bersifat retroaktif, artinya PT RAPP tidak dapat diwajibkan melakukan penyesuaian RKU berdasarkan kebijakan setelah terbitnya PP 57 Tahun 2016.
Sementara itu Hamdan Zoelva mengatakan RAPP mengajukan permohonan PTUN untuk mendapatkan kepastian hukum setelah pembatalan RKU oleh KLHK. Dia menyebut permohonan tersebut merupakan tindak lanjut dari permohonan-permohonan yang telah diajukan RAPP sebelumnya kepada KLHK untuk meninjau kembali keputusannya.