KPK Terbitkan Surat Perintah Penangkapan Setnov

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Ketua DPR Setya Novanto bersaksi dalam sidang kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (3/11).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Pingit Aria
16/11/2017, 10.58 WIB

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan Surat Perintah Penangkapan terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto. Surat tersebut diterbitkan karena hingga Kamis (16/11) pagi, KPK belum dapat memeriksa Novanto. Ia kerap mangkir dari agenda yang dijadwalkan KPK. 

Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, selama ini KPK telah 11 kali menjadwalkan pemeriksaan terhadap Novanto. Namun, yang bersangkutan hanya hadir tiga kali. Sementara delapan agenda lainnya Novanto selalu berhalangan.

"Karena ada kebutuhan penyidikan, KPK menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap SN dalam proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi e-KTP," kata Febri di kantornya, Jakarta, Kamis (16/11).

Ia menyatakan, KPK dini hari ini melakukan penindakan di kediaman Novanto di  Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun, Novanto tidak berada di lokasi.

(Baca juga:  KPK Minta Setnov Menyerahkan Diri)

Tim KPK selama lima jam berada di kediaman Novanto sejak Rabu (15/11) pukul 21.40 WIB. Mereka keluar pada Kamis (16/11) pukul 02.43 dini hari hanya membawa tiga tas jinjing, satu koper biru, satu koper hitam, dan satu alat elektronik.

Febri mengatakan, pihaknya masih terus mencari tahu informasi keberadaan Novanto. KPK pun telah berkoordinasi dengan Kepolisian RI untuk upaya penangkapan Novanto.

"Pimpinan KPK telah berkoordinasi dengan Kapolri, Wakapolri, dan juga Kakor Brimob dan kami ucapkan terima kasih atas dukungan dari Polri dalam setiap upaya penindakan yang dilakukan oleh KPK," kata Febri.

Saat ini, KPK tengah mempertimbangkan agar Novanto masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Begitu pula dengan penahanan pasca penangkapan Novanto. Kendati, KPK masih menunggu Novanto menyerahkan diri hingga 1x24 jam.

Hal ini sesuai dengan hukum acara dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).  "Jadi sekali lagi kami imbau belum terlambat untuk dapat melakukan penyerahan diri ke KPK. Sikap  kooperatif akan jauh lebih baik untuk penanganan perkara ini atau pun untuk yang bersangkutan," kata Febri.

KPK mendatangi kediaman Novanto pasca dirinya tak menghadiri agenda pemeriksaan yang dijadwalkan Rabu (15/11) pagi. Novanto justru berada di DPR RI untuk memimpin Rapat Paripurna masa sidang kedua. 

Sejatinya, Novanto akan diperiksa sebagai tersangka dalam kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Namun, ia beralasan bahwa pemeriksaan yang dilakukan kepadanya memerlukan izin presiden. 

(Baca juga:  4 Kali Mangkir Pemeriksaan, KPK Sambangi Rumah Setya Novanto)

Hal itu tertuang dalam surat tertanggal 14 November 2017 dari pengacara Novanto, Fredrich Yunadi yang diserahkan ke KPK pagi ini. "Surat pemberitahuan tidak dapat memenuhi panggilan KPK tersebut berisikan 7 poin yang pada pokoknya sama dengan surat sebelumnya," kata juru bicara KPK Febri Diansyah.

Novanto sudah empat kali mangkir dari pemeriksaan yang dijadwalkan KPK. Pada tiga pemeriksaan sebelumnya, Novanto dijadwalkan sebagai saksi dari tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo.

Adapun, Novanto telah resmi diumumkan kembali sebagai tersangka pada Jumat (10/11). Novanto kembali dijerat dalam kasus korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis Elektronik (e-KTP) tahun 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri.

Novanto diduga bersama-sama melakukan korupsi dengan Anang, Andi Narogong, Irman, dan Sugiharto diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Novanto pun diduga menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.

Dia diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp 5,9 triliun dalam pengadaan paket KTP elektronik tahun 2011-2012 pada Kemendagri.

Setya Novanto disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.