KPK 'Rahasiakan' Pemeriksaan Tersangka BLBI Syafruddin Temenggung

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan pemeriksaan terhadap Syafruddin Temenggung terkait kasus BLBI.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
27/10/2017, 09.08 WIB

Hingga saat ini, KPK belum melakukan penahanan terhadap Syafruddin. KPK sebelumnya menetapkan Syafruddin sebagai tersangka pada 25 April 2017. "Kami masih fokus pada penguatan dokumen-dokumen yang sudah kita dapatkan sebelumnya. Termasuk hasil audit keuangan sebelumnya yang kami terima," ujar Febri.

Kerugian atas keuangan negara atas kasus yang menjerat Syafruddin sebelumnya diperkirakan senilai Rp 4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset BDNI sebesar Rp 4,8 triliun. Hal tersebut didapatkan berdasarkan audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang SKL BLBI tertanggal 25 Agustus 2017.

BPK menyimpulkan adanya indikasi penyimpangan SKL BLBI tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban secara keseluruhan. SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

(Baca: Jokowi Minta Bedakan Inpres Megawati Soal BLBI dengan Pelaksanaan)

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30% dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70% dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004 sebesar Rp 4,8 triliun.

Nilai tersebut berupa Rp 1,1 triliun ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. "Dari nilai Rp 1,1 triliun itu kemudian dilelang oleh PPA dan didapatkan Rp 220 miliar. Sisanya Rp 4,58 triliun menjadi kerugian negara," kata Febri.

Halaman: