Buruh dan pekerja PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) berunjuk rasa di Pekanbaru, Riau, Senin (23/10), menolak aturan regulasi gambut yang berdampak kepada perusahaan mereka. Sementara itu Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK) Siti Nurbaya menyayangkan penertiban kepada PT RAPP berkembang menjadi isu liar yang meresahkan masyarakat.
Siti menjelaskan, sikap tegas pemerintah yang menolak Rencana Kerja Usaha (RKU) RAPP merupakan bagian dari upaya paksa melindungi ekosistem gambut di Indonesia. Aturan RKU ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
“Di mana seluruh perusahaan HTI (Hutan Tanam Industri) berbasis lahan gambut harus menyesuaikan rencana kerja usaha mereka dengan aturan pemerintah,” kata Siti dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/10).
(Baca: Kementerian LHK: Kebakaran Hutan di Riau Turun Signifikan Sejak 2015)
Siti menegaskan meski Kementerian LHK menolak RKU RAPP, bukan berarti izin dicabut keseluruhan. Namun, ia menyayangkan isu yang berkembang justru soal pencabutan izin operasional. RAPP pun dinilai semakin membiarkan isu bergulir liar dengan mengancam akan mem-PHK karyawannya.
“Yang sebenarnya terjadi adalah KLHK memberi perintah dan sanksi agar RAPP tidak melakukan penanaman di areal lindung ekosistem gambut. Namun mereka tetap bisa menanam di areal budidaya gambut. Jadi tidak ada masalah harusnya," ujar dia.
Isu PHK membuat sekitar ribuan buruh dan pekerja RAPP menggelar unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Riau, Jalan Sudirman dan Gajah Mada, Pekanbaru. Mereka mengkhawatirkan keputusan Kementerian LHK akan berujung pemecatan.
Kementerian LHK menyatakan telah memberikan waktu kepada RAPP untuk memperbaiki RKU. Namun, perusahaan justru memaksa ingin menjalankan rencana kerja sesuai dengan aturan mereka sendiri. RAPP, lanjutnya, tak mau mengikuti aturan yang telah ditetapkan pemerintah.
"Saya mengajak RAPP menjadi perusahaan yang patuh, taat pada aturan di negara ini, sebagaimana perusahaan HTI lainnya yang RKU mereka telah lebih dulu disahkan dan tidak ada masalah," kata Siti.
Menurut Siti, pihaknya tak mungkin membenarkan atau membiarkan pelanggaran aturan yang dilakukan RAPP. Siti menilai jika hal itu dibenarkan sama saja dengan pemerintah dipaksa mengalah pada sikap pembangkangan dan melawan aturan.
Terlebih lagi, kata Siti, hanya RAPP yang tidak mau menuruti aturan pemerintah. Sementara, 12 perusahaan HTI lainnya sudah mendapatkan pengesahan RKU dan tidak ada keluhan masalah.
Menurut Siti, kepatuhan perusahaan HTI berbasis gambut sangat penting. Sebab, selama ini ekosistem gambut mudah terbakar dan menjadi salah satu penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selama lebih dari 20 tahun di Indonesia.
“Melindungi gambut tidak bisa hanya dengan pemadaman rutin saja, namun harus dicegah secara dini dengan melakukan perlindungan gambut secara utuh dan menyeluruh,” ucap Siti.
(Baca: Jokowi Ancam Cabut Izin Perusahaan Penyebab Kebakaran Hutan)
Siti pun mendorong agar RAPP segera merevisi RKU mereka sesuai PP Gambut sebagaimana HTI lainnya. Siti akan memanggil manajemen RAPP pada Selasa (24/10) besok.
“Selain pembahasan revisi RKU, pemanggilan ini sekaligus untuk mengklarifikasi manuver-manuver perusahaan yang dinilai sudah jauh melenceng dari substansi persoalan sesungguhnya,” kata dia.
Sekjen KLHK Bambang Hendroyono menjelaskan, proses penolakan RKU RAPP oleh KLHK, tidak dilakukan hanya dalam hitungan hari, namun dimulai sejak bulan Mei 2017 dan terus berjalan secara marathon. Prosesnya diawali dengan asistensi, sosialisasi dan meminta seluruh perusahaan untuk taat pada regulasi PP Gambut.
“Berikutnya perusahaan-perusahaan mulai mengajukan RKU, dan saat inilah KLHK melakukan pengarahan,” kata Bambang.
Dalam tahap tersebut, PT RAPP dianggap sudah memperlihatkan ketidaktaatan. Pasalnya, setiap arahan dari pemerintah selalu dijawab dengan bentuk penyusunan RKU yang tidak sesuai aturan.
Bambang lantas memanggil Direktur PT. RAPP Rudi Fajar, dan memberinya petunjuk agar RKU benar-benar mengikuti aturan. “Dia janji akan perbaiki, tapi tetap saja isinya tidak sesuai arahan hingga akhirnya turun surat peringatan pertama,'' jelas Bambang.
Pada tahap selanjutnya, RAPP tetap saja tidak melakukan pengajuan RKU yang mengacu pada PP Gambut. Bahkan, pihak perusahaan terang-terangan mengatakan menolak arahan yang disampaikan pemerintah.
"Di antara rentang waktu itu, KLHK sangat aktif mengirimkan surat kepada pimpinan RAPP. Namun Rudi Fajar saat dipanggil mengaku sakit, lalu pada panggilan berikutnya mengaku tengah cuti. Karena tidak ada respons atas surat teguran yang dikirimkan, barulah turun surat peringatan II. Lalu SK pembatalan RKU, dan meminta mereka segera memperbaiki RKU sesuai aturan," jelas Bambang.
Dalam catatan KLHK, berlakunya PP Gambut tidak akan mengganggu pasokan perusahaan. Bahkan Bambang mengatakan alasan PT. RAPP bahwa mereka hanya menerima pasokan dari areal berjarak 100 kilometer dari lahan perusahaan saat ini merupakan kebohongan.
“Karena selama ini PT. RAPP tidak hanya menerima pasokan akasia dari konsesi-konsesi HTI di Riau saja. Industri PT. RAPP terus menerima pasokan akasia dari Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Bambang menuturkan, per data tanggal 30 September 2017 sudah masuk panen akasia ke pabrik PT. RAPP sebesar 8,77 juta m3 dari Riau, Sumut, Sumbar, Kaltara, Kaltim, dan Kalteng. Dari jumlah tersebut, PT. RAPP pun masih punya sisa stok panen sebesar 5 juta meter kubik di unit-unit PT. RAPP.
“Terutama di estate Pelalawan sebesar 3,4 juta meter kubik yang seharusnya sudah dipanen,” kata Bambang.