Hakim tunggal dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Effendi Muckhtar menolak gugatan yang diajukan eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsjad Temenggung. Dalam persidangan tersebut, Syafruddin menggugat penetapan tersangka dirinya dalam kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dalam putusannya, hakim menolak seluruh pokok permohonan atau petitum dari pemohon. Selain itu, dalam putusannya hakim tidak membebankan biaya perkara kepada pemohon.
Hakim menilai pihak pemohon tidak bisa membuktikan dalil-dalil permohonan praperadilannya. Sementara, pihak termohon dinilai mampu membuktikan dalil-dalil bantahannya dengan bukti-bukti yang disampaikan, baik keterangan saksi fakta, saksi ahli, maupun alat bukti surat.
(Baca juga: KPK Klaim Tersangka Kasus BLBI Tak Dapat Buktikan Gugatan Praperadilan)
"Dalam eksepsi, menolak eksepsi pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok perkara, menolak permohonan praperadilan yang diajukan pemohon untuk seluruhnya," kata Hakim Effendi saat membacakan putusan di PN Jakarta Selatan, Rabu (2/8).
Hakim menimbang, Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Sprin.Lid- 06/01/01/2013 tanggal 31 Januari 2013 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-19/01/03/2017 yang dikeluarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanggal 20 Maret 2017 telah sah dan berdasarkan atas hukum.
Selain itu, hakim menilai penetapan tersangka Syafruddin telah berlandaskan dua alat bukti yang sah dan memiliki kekuatan hukum. "Hakim praperadilan berpendapat bahwa prosedur penetapan tersangka yang dilakukan oleh termohon sudah memenuhi adanya bukti permulaan yang cukup, yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang mengacu pada Pasal 184 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)," ucap Effendi.
(Baca: Syafruddin Temenggung Jadi Tersangka Kasus BLBI Sjamsul Nursalim)
Hakim juga menimbang KPK memiliki kewenangan untuk menangani perkara yang menjerat Syafruddin. Pasalnya, berdasar pada pasal 78 ayat (1) KUHP, tempus delicti perkara Syafruddin belum kedaluwarsa.
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa masa berlaku suatu perkara dari dimulainya tindak pidana adalah selama 18 tahun. Perkara korupsi BLBI yang menjerat Syafruddin dimulai sejak 2004. Atas dasar itu, maka tempus delicti perkara BLBI akan jatuh tempo pada 2022.
"Pemohon ditetapkan sebagai tersangka pada 20 Maret 2017 maka tempus delicti perkara belum daluwarsa," kata Effendi.
Adapun hakim mengabaikan beberapa dalil permohonan yang dilayangkan Syafruddin. Di antaranya, KPK tidak berwenang melakukan proses hukum perkara BLBI karena merupakan ranah perdata, KPK tidak berwenang melakukan proses hukum karena telah ada Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus Sjamsul dari Kejaksaan Agung, lalu Syafruddin tidak layak ditetapkan sebagai tersangka karena perintah jabatan.
(Baca: Jokowi Minta Bedakan Inpres Megawati Soal BLBI dengan Pelaksanaan)
Hakim menimbang, dalil permohonan tersebut telah masuk ke dalam pokok perkara. Hakim juga menimbang bahwa pemeriksaan dalil permohonan tersebut tak mungkin diselesaikan dalam jangka waktu sidang praperadilan selama 7 hari.
Kuasa hukum Syafruddin, Dodi Abdul Kadir mengatakan akan menghormati putusan yang ditetapkan oleh hakim. Namun, kata Dodi, pihaknya akan mempersiapkan diri melakukan langkah-langkah hukum selanjutnya di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
"Seperti kita dengar tadi bahwa pengadilan praperadilan hanya memeriksa aspek formil. Oleh karenanya kami akan mempersiapkan fakta materiil ini di dalam pemeriksaan pokok perkara nanti," ucap Dodi usai persidangan.