Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Oganisasi Kemasyarakatan (ormas) menuai kritik. Perppu yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juli lalu dianggap berlebihan karena mengatur sanksi pidana dengan ancaman seumur hidup.
"Menurut saya ancaman pemidanaan ini agak berlebihan, terlalu tinggi," kata Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (lakspedam NU), Rumadi Ahmad dalam diskusi di Jakarta, Jumat (14/7).
Perppu Ormas mengatur sanksi pidana bagi anggota atau pengurus ormas yang melakukan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan (SARA), dan melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.
Selain itu, sanksi diberikan kepada anggota atau pengurus ormas yang melakukan tindak kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial, atau melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum.
(Baca: Istana Hormati Upaya Hukum Gugat Perppu Ormas ke MK)
Ancaman sanksi pidana diatur dalam Pasal 82A ayat 1 dan ayat 2. Pada pasal 82 ayat 1, ancaman hukuman pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama satu tahun. Adapun pada pasal 82A ayat (2) diatur mengenai pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 20 tahun.
Khusus ancaman pidana seumur hidup atau penjara 20 tahun ini apabila orang atau pengurus ormas terlibat dalam menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang. Selain itu, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Bukan hanya ancaman pidana seumur hidup yang mendapat kritikan, pengaturan sanksi pidana ini dianggap tidak tepat disisipkan dalam Perppu.
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan Perppu masuk dalam ranah hukum administratif sehingga seharusnya ketentuan pemidanaan dalam Perppu 2/2017 hanya merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Tidak tepat kalau pemidanaan ditempelkan di Perppu ini. Seharusnya dia hanya merujuk pada KUHP dan pasal-pasal lain di dalam hukum pidana," kata Hendardi.
Sementara itu Direktur Perancangan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra mengatakan, aturan tindak pidana sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas. "Ketentuan tentang sanksi pidana itu sudah ada dalam UU Ormas dan diatur kembali dalam Perppu," kata Dhahana kepada wartawan, Kamis (13/7).
(Baca: Terbitkan Perppu, Pemerintah Bisa Bubarkan Ormas Tanpa Pengadilan)
Dhahana mengatakan subjek hukum dalam Perppu ada dua, yakni orang dan ormas. Dia mengatakan sanksi pidana untuk orang yang melakukan pelanggaran. Sementara sanksi administratif diterapkan pada ormas yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum lewat tiga tahapan, yakni peringatan tertulis, dibekukan kegiatan, ada juga pencabutan sekaligus pembubaran.
Meski mengkritik mengenai pengaturan pasal pidana, Rumadi mengatakan penerbitan Perppu 2/2017 memang penting dalam kondisi saat ini. Alasannya, ketegangan antar kelompok yang ingin mengganti ideologi negara sudah cukup besar karena dibiarkan berlarut tanpa ada pengaturan regulasi.
"Pemerintah dari sisi ini memiliki hak menerbitkan Perppu ini karena merasa ada kegentingan," kata Rumadi.
Hendardi pun menganggap penerbitan Perppu ini sudah tepat untuk menindak ormas-ormas radikal. Dia meminta masyarakat untuk mengawasi penggunaan Perppu 2/2017 agar tidak disalahgunakan untuk memidanakan kelompok yang kritis terhadap pemerintah. "Ini menjadi tugas kita bersama untuk mengawasi kerja Perppu ini," kata Hendardi.