Yusril: DPR Berwenang Bentuk Pansus Hak Angket KPK

ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
10/7/2017, 18.08 WIB

Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menganggap Dewan Perwakilan DPR (DPR) berwenang dalam membentuk panitia khusus hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pembentukan pansus dianggap memiliki legalitas karena sesuai tugas dan wewenang parlemen dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang (UU).

"DPR dapat melakukan angket terhadap KPK karena KPK dibentuk dengan Undang-undang," kata Yusril dalam rapat dengar pendapat umum di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Senin (10/7).

Yusril menambahkan, hak angket merupakan pengawasan yang harus dilakukan terhadap kebijakan yang dilakukan lembaga eksekutif. Dia menganggap KPK merupakan lembaga eksekutif, karena melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi, seperti yang dilakukan Kejaksaan dan Kepolisian. Dia menolak apabila KPK disebut sebagai bagian dari yudikatif. 

"Tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan adalah tugas eksekutif, bukan legislatif dan yudikatif," kata Yusril. (Baca: KPK Terus Dapat Dukungan Tolak Pansus Hak Angket)

Selain itu, Yusril berargumen, KPK selama ini merupakan lembaga yang menggunakan anggaran negara, sehingga selayaknya diawasi oleh DPR.

Yusril pun membantah jika DPR tak bisa melakukan hak angket terhadap KPK dengan alasan independensi. Alasan tersebut, kata dia, tidak tepat untuk menolak hak angket terhadap KPK.

Pasalnya, lanjut Yusril, DPR pernah dan bisa melakukan hak angket terhadap Bank Indonesia (BI). Padahal, independensi BI telah termaktub dalam Pasal 23 UUD 1945 dan aturan turunannya.

"DPR sudah melakukan angket terhadap BI. Jadi alasan apa kita mengatakan KPK tidak bisa diangket oleh DPR?" tanya Yusril.

Yusril diundang oleh pansus hak angket seiring dengan bermunculan pendapat di masyarakat yang menolak Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK. Berbagai kalangan dari masyarakat, akademisi dan para ahli hukum tata negara menyatakan penolakan atas bergulirnya hak angket ini.

Kalangan civitas akademi menolak hak angket karena dinilai dapat menciderai semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Sikap penolakan di antaranya dinyatakan oleh para dosen dari Universitas Gajah Mada, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia, BEM Intitut Teknologi Bandung (ITB) dan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI).

Para praktisi dan pakar hukum tata negara yang bergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) yang dipimpin Mahfud MD, telah menyatakan sikap berdiri di belakang KPK.

(Baca: KPK Nilai Wacana Pembekuan Anggaran Hanya Untungkan Koruptor)

Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun yang juga menjadi anggota APHTN-HAN mengatakan pansus hak angket KPK keliru memiliki tiga kekeliruan yakni dalam hal subjek, objek dan prosedur hukum.

Hak angket dianggap salah alamat karena KPK dianggap bukan badan pemerintahan, tapi bagian dari lembaga yudikatif. Selain itu Refly menyebut prosedur usulan hak angket yang keliru karena saat anggota DPR masih ada yang tidak setuju atau belum mufakat, pimpinan rapat yakni Fahri Hamzah mengetuk palu. Seharusnya bila belum mufakat, peserta rapat mengadakan voting. "Ini prosedur persidangan yang cacat," kata Refly.

Di samping itu uji materi terhadap kewenangan hak angket DPR yang tercantum pada pasal 79 Ayat 3 UU Nomor 42/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), kini bergulir di Mahkamah Konstitusi.

Viktor Santoso selaku koordinator kuasa hukum pemohon mengatakan, latar belakang pengajuan uji materi karena menganggap pembentukan pansus hak angket DPR terhadap KPK yang terkesan dipaksakan dan melanggar aturan perundangan.

(Baca: KPK Disarankan Ajukan Uji Materi Pansus Hak Angket ke MK)