Exit Poll Lembaga Survei Menangkan Anies, Quick Count Bisa Beda

ANTARA FOTO/M. Agung Rajasa
19/4/2017, 14.40 WIB

Lembaga Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyatakan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno unggul dalam exit poll.  Namun Denny mengingatkan, hasil tersebut merupakan versi exit poll LSI. Lembaganya pun tetap menunggu penghitungan resmi versi Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta.

“Versi Exit Poll LSI, Anies Sandi menang. Namun perlu diverifikasi lagi oleh Quick Count,” tulis Denny JA melalui akun Twitter-nya, @DennyJA_WORLD, Rabu (19/4). (Baca: Survei Pilkada DKI: Debat di TV Penting dan Pengaruhi Pemilih)

Meski begitu, hasil exit poll bisa saja berbeda dari quick count. Sebab, exit poll berisi pendapat atau opini. Sementara itu, quick count menampilkan fakta atau pilihan masyarakat.

Peneliti lembaga survei Populi Center, Nona Evita menyatakan, meski sudah memasuki putaran kedua pilkada DKI Jakarta, masyarakat masih belum memahami perbedaan quick count dan exit poll. Ia menuturkan, memang ada kemiripan antara survei, exit poll, serta quick count.

Nona menjelaskan, exit poll memiliki kemiripan dengan survei, dengan menanyakan opini masyarakat berdasarkan pilihan mereka.  Nona mengungkapkan, opini tersebut pun belum tentu sama dengan pilihan di bilik suara.

Karena, Nona melanjutkan, menjelang hari-H pencoblosan, ada isu SARA yang merebak, disertai dengan intimidasi sosial. Akibatnya, ada sebagian masyarakat yang ketakutan untuk mengungkapkan pilihan asli  mereka karena takut dikucilkan.

Hal tersebut pun tercermin pada putaran pertama pilkada DKI Jakarta. Exit poll Populi Center menunjukkan keunggulan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Namun, pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat lah yang menempati posisi teratas pada quick count lembaga tersebut.

Hasil hitung cepat lembaga survei Polmark menjadi contoh lainnya. Pada putaran pertama, pasangan Anies-Sandi selalu unggul di survei maupun exit poll lembaga ini. Namun lagi-lagi, saat quick count dilakukan, pasangan Ahok-Djarot lah yang memimpin.

Nona mengatakan, berkaca dari putaran pertama, masih banyak masyarakat yang merahasiakan pilihan mereka. Padahal, sejumlah lembaga survei yang terdaftar di KPU DKI Jakarta melakukan pengumpulan informasi untuk kepentingan penelitian yang sah. (Baca: Polisi Akan Proses Hukum Mobilisasi Massa Saat Pilkada Jakarta)

Masyarakat, kata Nona, masih belum terbuka dalam hal referensi politik. Bahkan sekarang, masyarakat pun cenderung tidak mengungkapkan kejujuran ketika berpartisipasi dalam penelitian lembaga survei.  Berdasarkan kecenderungan masyarakat ini, ia pun menyampaikan indikator kredibilitas lembaga survei.

“Kredibilitas lembaga penelitian, khususnya lembaga survei, bisa dilihat dari quick count, bukan exit poll,” kata Nona kepada Katadata, Rabu (19/4).

Ia mengungkapkan, hasil quick count yang kredibel dapat terlihat dari selisih yang tidak melebihi satu persen dari hasil penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Nona menyebut, pada pilkada DKI Jakarta putaran pertama lalu, hampir semua lembaga survei mengeluarkan hasil quick count dengan selisih yang kurang jadi satu persen dari penghitungan KPU.

Nona menjelaskan, jika hasil hitung cepat lembaga survei memiliki perbedaan lebih dari 1 persen dibandingkan penghitungan KPU, maka masyarakat harus mencermati metodologi yang dipilih lembaga survei tersebut.  (Baca: Ke Istana Satu Hari Jelang Pilkada, Ahok Bicara Sembako dan Sepeda)

Ia menjelaskan, sampling quick count lembaga survei berkisar 400-500 tempat pemungutan suara (TPS) dari total lebih dari 13 ribu TPS di DKI Jakarta. Pembobotan sampling pun harus dilakukan proporsional, sesuai bobot kependudukan tiap wilayah. Misalnya, berdasarkan jumlah penduduk, proporsi sampling di Jakarta Timur lebih banyak dari Jakarta Pusat.