Emisi dan tingkat polusi udara dari batu bara di Asia Tenggara diprediksi naik hingga tiga kali lipat pada 2030. Kondisi ini akan menyebabkan angka kematian akibat polusi meningkat. Prediksi ini berdasarkan laporan Harvard dan Greenpeace yang diterbitkan pada Jumat pekan lalu.
Laporan Harvard dan Greenpeace, seperti dikutip CNN pada Jumat (13/1), menyebutkan sekitar 20 ribu orang di kawasan Asia Tenggara meninggal setiap tahun akibat emisi dari pembangkit listrik tenaga batu bara. (Baca: Proyek Listrik 35 Ribu MW Dongkrak Konsumsi Batubara 90 Persen)
Peneliti polusi udara dari Greenpeace, Lauri Myllyvirta mengatakan pengembangan batu bara di Asia Tenggara telah menarik banyak perhatian. "Karena negara-negara di kawasan ini hanya memiliki standar minimal untuk emisi pembangkit listrik," katanya seperti dikutip Bloomberg, Kamis (12/1).
Angka kematian akibat emisi batu bara diprediksi naik menjadi 70 ribu jiwa pada 2030. Ini akan terjadi jika seluruh proyek pembangunan pembangkit listrik di kawasan Asia Tenggara tetap dijalankan.
Para peneliti dari Harvard dan Greenpeacce menyatakan kebutuhan listrik di Asia Tenggara diprediksi naik secara mengejutkan, yaitu 83 persen antara tahun 2011 dan 2035. Angka ini dua kali lipat dibanding rata-rata global.
Beberapa negara dunia seperti Amerika Serikat, Eropa, Cina, dan India, sudah mulai mengalihkan penggunaan energi batu bara ke energi baru dan terbarukan. Sementara negara-negara di Asia Tenggara masih berupaya memenuhi kebutuhan energi tersebut melalui pembangkit listrik tenaga batu bara.
Kepala riset dari Universitas Harvard untuk proyek penelitian ini, Shannon Koplitz mengungkapkan, ketergantuan negara-negara berkembang di Asia Tenggara terhadap batu bara akan membawa dampak buruk bagi kualitas udara dalam jangka panjang. Kondisi tersebut juga membahayakan kesehatan masyarakat.
Para peneliti pun mempelajari dampak berkembangnya penggunaan batu bara di kawasan Asia Tenggara dan Timur. Studi yang dilakukan Harvard dan Greenpeace tersebut menunjukkan pertumbuhan ekonomi, populasi, serta migrasi urban, yang menyebabkan naiknya kebutuhan energi. (Databoks: Harga Batu bara Meroket Sepanjang 2016)
Jumlah pembangkit listrik di Indonesia diperkirakan tumbuh dua kali lipat, dari 147 menjadi 323. Sementara itu, Myanmar akan mengalami pertumbuhan hingga lima kali, dari tiga menjadi 16.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tahun 2016-2025. Peran batu bara masih dangat besar dalam bauran energi nasional, yakni hingga 30 persen. Peran energi baru dan energi terbarukan paling sedikit 23 persen, minyak bumi kurang dari 25 persen, dan gas bumi minimal 22 persen.
Pada 2050, pemerintah Indonesia mentargetkan energi baru dan terbarukan berkontribusi setidaknya 31 persen. Minyak bumi diharapkan berkontribusi hanya kurang dari 20 persen, batu bara minimal 25 persen, serta gas bumi sekurang-kurangnya 24 persen.
Emisi dari batu bara di Asia Tenggara diperkirakan naik hingga tiga kali lipat di tahun 2030, dengan kontribusi terbesar dari Indonesia dan Vietnam. Di sisi lain, negara-negara maju seperti Korea Selatan dan Jepang juga menambah jumlah pembangkit listrik tenaga batu bara mereka.
Sejumlah analis menilai kerusakan yang ditimbulkan dua Indonesia dan Vietnam ini tidaklah besar. Di India, jumlah korban meninggal akibat pembangkit listrik tenaga batu bara setiap tahunnya mencapai 100 ribu jiwa. "Tidak adil jika Indonesia ditempatkan sebagai contoh buruk, jika dibandingkan Amerika Serikat, Cina, dan India," ujar juru bicara International Energy Agency (IEA).
Ia mengungkapkan, setiap negara harus mengembangkan seluruh potensi yang ada untuk memanfaatkan energi rendah karbon. Di sisi lain, minimnya energi juga menjadi isu penting bagi banyak negara.
"Cina sudah menjadi pemimpin dunia di bidang pengembangan listrik dari energi terbarukan," ujar Peneliti polusi udara dari Greenpeace, Lauri Myllyvirta. Sejak 2013, Cina memanfaatkan energi bersih untuk memenuhi kebutuhan listrik negaranya.
Sementara itu, India senantiasa berupaya untuk memenuhi targetnya di sektor energi terbarukan. Myllyvirta pun berharap polusi udara tidak mencapai pada kondisi yang mengerikan.
Harga yang murah dan pasokan yang melimpah membuat negara-negara seperti Vietnam dan Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil ini. Padahal sudah jelas dampaknya cukup buruk terhadap kualitas udara. (Databoks: Target Produksi Batu Bara 2017 Hanya 413 Juta Ton)
Para analis IEA menilai pemerintah perlu memberi insentif bagi rencana pengembangan sektor energi dalam jangka panjang. Hal ini dianggap mampu membantu negara-negara Asia Tenggara mengutamakan pemanfaatan teknologi dengan energi terbarukan, dibandingkan batu bara.
"Untuk mencapai biaya yang kompetitif, industri energi terbarukan harus mencapai skala tertentu," ujar Myllyvirta. Ia menyatakan hasil penelitian Harvard dan Greenpeace tersebut menunjukkan sebagian besar negara belum memanfaatkan energi terbarukan dengan maksimal.